Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Nanang Samudra menyarankan masyarakat, termasuk yang ada di wilayah Nusa Tenggara Barat, untuk menggunakan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS), dalam menyelesaikan permasalahan adat yang mencuat.
“Gunakanlah UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial untuk menyelesaikan berbagai permasalahan adat, bisa gunakan pasal 5, 6, dan 7,” katanya saat pertemuan sosialisasi Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (PPHMHA) di Mataram, NTB.
Sosialisasi RUU PPHMHA itu difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) NTB yang menghadirkan Nanang selaku Anggota Panitia Khusus (Pansus) DPR, sebagai pembicara utama. Sejumlah sesepuh masyarakat NTB seperti H Lalu Mudjitahir (mantan Bupati Lombok Barat), dan H Lalu Mariyun (mantan Ketua Pengadilan Tinggi NTB), juga hadir dalam pertemuan sosialisasi yang dikemas dalam bentuk dialog publik itu.
Menurut Nanang, mungkin banyak yang belum tahu keberadaan Undang Undang Penanganan Konflik Sosial itu, sehingga merasa bahwa konflik masyarakat adat tidak kunjung terselesaikan. “Memang undang-undang itu masih baru, dan mungkin pemerintah daerah kurang sosialisasi sehingga masyarakat belum paham. Mungkin Pemprov dan pemkab/pemkot di NTB segera gencar mensosialisasikan regulasi itu,” ujarnya.
Permasalahan adat Cek Bocek Selesek Reen Sury atau Suku Berco, yang berada di wilayah tambang di Kabupaten Sumbawa, NTB, dapat diselesaikan dengan mengacu kepada Undang Undang Penanganan Konflik Sosial itu. Demikian pula, permasalahan yang dialami masyarakat adat Pekasa di Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa.
“Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan tradisi, masyarakat adat, dan lainnnya, bisa diselesaikan, karena sudah ada regulasi penanganan konflik sosial,” ujar Nanang, ketika menjawab pertanyaan peserta sosialisasi RUU PPHMHA yang mempersoalkan penanganan kasus Cek Bocek, dan masyarakat adat Pekasa.
Tak Selesai
Salah seorang peserta sosialisasi mengungkapkan penyelesaian kasus Cek Bocek yang tak kunjung selesai, meskipun sudah dilaporkan AMAN yang mewakili komunitas adat Cek Bocek ke berbagai pihak, termasuk Komnas HAM, dan Pemerintah Provinsi NTB.
Versi AMAN, komunitas adat Cek bocek Selesek Reen Sury atau Suku Berco, yang menyebar di tiga desa di wilayah Kabupaten Sumbawa, yakni Desa Lawin dan Labangkar yang berada di wilayah Kecamatan Ropang, dan Desa Ai Ketapang yang berada di wilayah Kecamatan Lunyuk.
Komunitas adat di Desa Lawin mencapai 400 kepala keluarga (KK), di Desa Labangkar sekitar 500 KK dan komunitas adat di Desa Lunyuk sekitar 600 KK. Komunitas adat Cek bocek Suku Berco di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, NTB, merupakan penduduk Sumbawa bagian selatan yang paling tua.
Wilayah komunitas adat Selesek Reen Sury atau Suku Berco itu mencapai 25 ribu hektare, dan sekitar 17 ribu hektare diantaranya termasuk dalam wilayah pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) di wilayah Kabupaten Sumbawa yang kini sudah memasuki tahapan eksplorasi.
Komunitas adat Suku Berco terus berupaya mempertahankan tanah ulayat itu dari penguasaan perusahaan asing yang melakukan usaha pertambangan, meskipun Pemerintah Kabupaten Sumbawa belum mengakui keberadaan masyarakat adat beserta tanah ulayatnya itu.
Pertambangan sekala besar di wilayah adat Cek Bocek yang merupakan bagian dari wilayah pertambangan PTNNT di Blok Elang Dodo itu, dinilai akan mengancam keseimbangan lingkungan, ekosistem dan sosial-budaya.
Oleh karena wilayah adat Cek bocek itu berada dalam wilayah pertambangan PTNNT, maka perusahaan asing itu menghendaki komunitas adat itu hengkang dari wilayah tersebut. Hal itu justru menimbulkan kekhawatiran terjadinya konflik horizontal antara komunitas masyarakat adat Cek bocek dengan masyarakat yang ingin bekerja di Newmont.
Demikian pula, apa yang dialami masyarakat adat Pekasa di Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, yang terus mengharapkan kebijakan pemerintah dalam memposisikan keberadaan mereka yang sudah menempati kawasan itu sejak 1974.
Komunitas masyarakat adat Pekasa sudah tiga kali terkena musibah yang dilakukan oknum aparat pemerintah, sejak mereka bermukim di Kecamatan Lunyuk, Sumbawa.
Kejadian pertama pada 1974 atau ketika mereka belum lama mendiami kawasan itu. Rumah adat dan rumah tinggal dibakar sehingga penghuninya kocar-kacir.
Peristiwa kedua pada 2005, meski tidak terjadi pembakaran pemukiman, namun komunitas masyarakat adat Pekasa itu diusir.
Kejadian yang terbaru 21 Desember 2011, kediaman komunitas adat Pekasa yang dihuni sekitar 112 kepala keluarga dibakar oleh pihak yang diduga aparat pemerintah dari dinas kehutanan yang dibantu aparat Brimob.
Hilangkan Tumpang-Tindih Aturan
Pada bagian lain, Nanang Samudra yang juga anggota Pansus RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (PPHMHA) mengatakan bahwa regulasi itu dibutuhkan untuk menghilangkan kesan tumpang-tindih aturan terkait masyarakat adat.
Menurut dia, pembahasan RUU PPHMHA itu dilakukan secara paralel dengan revisi Undang-Undang Pertanahan (pembaharuan dari Undang Undang Pokok Agraria), dan Undang Undang Kehutanan, dan Undang Undang Desa yang sebentar lagi akan disahkan. “Jadi, akan diatur secara jelas tentang desa adat, yang selama ini seolah-olah keberadaan desa adat tidak diakui atau dicampuri oleh unsur pemerintah. Makanya, perlu dikembalikan lagi supaya desa adat bisa berperan lagi,” ujarnya.
Politisi asal NTB itu mengatakan, ujung dari berbagai upaya penyiapan regulasi yang mengkomodasi kepentingan masyarakat adat itu, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu juga untuk menjawab aspirasi komunitas masyarakat adat yang selama ini merasa terpinggirkan, sehingga mencuat beragam kasus seperti yang terjadi di Papua, Kalimantan, dan juga di NTB. “Karena itu, kami berharap semua pihak bisa menahan diri, dan arif untuk menunggu undang-undang ini selesai, baru kita tuntaskan masalah-masalah tersebut,” ujarnya.
RUU PPHMHA itu sudah digaungkan sejak era reformasi yang merujuk kepada Amandemen UUD 1945, yakni “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 bermakna bahwa pengaturan terhadap masyarakat adat tidak harus diatur di dalam undang-undang tersendiri, melainkan boleh diatur di dalam berbagai undang-undang.
Namun pemahaman umum, bahkan di dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, delegasi yang dikehendari dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 itu adalah sebuah undang-undang khusus yang mengatur hal-hal mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.
Gagasan untuk membentuk undang-undang masyarakat adat juga berkembang di dalam gerakan masyarakat adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengusulkan perlunya undang-undang khusus masyarakat adat dalam sejak Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) II pada tahun 2003.
Pada 9 Agustus 2006, Presiden SBY dalam sambutanya pada Peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) juga menekankan perlu dibentuk sebuah undang-undang khusus tentang masyarakat adat.
Saat ini, pembahasan RUU PPHMHA itu telah melewati pengesahan dalam paripurna DPR pada tanggal 17 April 2013 untuk menjadi RUU inisiatif DPR. Berbagai masukan terkait penyempurnaan RUU PPHMHA dalam sebulan terakhir ini akan dirangkum untuk dibahas lebih lanjut.
Selanjutnya, masa reses DPR selama sebulan, lalu dilanjutkan pembahasan pasal demi pasal oleh Panja yang diperkirakan memakan waktu sebulan. “Maka kalau bicara optimis maka akhir Februari nanti sudah selesai, tapi kalau bicara pemisis mungkin sekitar Agustus atau Oktober 2014, selesai. Tidak ada kendala berarti karena semuanya sudah mendukung, hanya muatan-muatan politiknya harus lebih hati-hati, agar jangan sampai malah menambah masalah-masalah baru,” ujarnya.