UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) telah mengatur tentang pemberian dana pensiun bagi para anggota legislatif. Karenanya ketika muncul gagasan agar mantan-mantan legislator cukup diberi pesangon saja agar tidak membebani keuangan negara, maka UU MD3 harus terlebih dahulu direvisi.
Wacana untuk mengganti dana pensiun bagi anggota DPR berkembang setelah banyak ditemukan anggota-anggota DPR yang terlibat kasus korupsi ternyata masih mendapatkan hak mereka terutama dalam menerima dana pensiun.
Anggota DPR RI dari Fraksi Hanura Saleh Husin menyatakan bahwa pihaknya setuju dengan wacana revisi UU tersebut, khususnya yang terkait dengan pasal-pasal tentang dana pensiun bagi anggota DPR. “Prinsipnya kami mendukung dan menyetujui niat baik tersebut selama itu untuk kebaikan kita semua,” ujar anggota Komisi V DPR RI itu.
Menurut dia, UU MD3 telah mengatur secara keseluruhan termasuk tentang pembayaran pensiunan bagi semua pejabat negara termasuk anggota DPR. Maka untuk mengganti dana pensiun bagi anggota DPR menjadi dana pesangon, pemerintah bersama DPR harus melakukan revisi terhadap Undang-Undang MD3.
“Tapi yang perlu diingat, yang menentukan besaran gaji, tunjangan, dan pensiun pejabat negara adalah pemerintah melalui Menteri Keuangan bukan DPR,” ujar Saleh seraya menambahkan, oleh sebab itu pihaknya akan menyetujui apapun yang nanti akan diputuskan oleh Menteri Keuangan, termasuk bila dana pensiun diganti dengan dana pesangon.
Hal senada disampaikan Ketua Fraksi PKS DPR RI Hidayat Nur Wahid. Ia setuju apabila anggota dewan yang habis masa kerjanya diberi dana pesangon saja dan bukan dana pensiun, sehingga tidak membebani keuangan negara. “Kalau namanya pesangon atau apa pun itu satu hal masih bisa dimengerti sebagai pengganti pensiun. Hal itu karena mereka telah bekerja untuk kepentingan publik dalam waktu tertentu memberikan yang terbaik,” kata Hidayat.
Tapi, pemberian dan pesangon itu tetap saja harus dipertimbangkan secara benar. Anggota DPR yang diberi pesangon itu pun tidak melakukan tindakan melanggar hukum, krimimal, moral yang mencederai kepercayaan publik. Bagi mereka yang tidak memiliki masalah hukum, wajar saja mereka menerima pesangon. Tapi bagi mereka yang melanggar, itu tidak wajar.
PKS menilai pemikiran pemberian pesangon itu wajar saja mengemuka yang dikaitkan dengan fungsi DPR yang periodik. Karena tidak selamanya seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS). Anggota DPR, merupakan jabatan politik sama halnya dengan presiden, menteri dan lembaga hukum seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Hidayat tidak bisa memberikan usulan mengenai nilai pesangon yang diberikan kepada anggota DPR yang sudah berakhir masa tugasnya. Dia menyerahkan kepada instansi terkait seperti Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Keuangan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Institusi tersebut yang punya kewenangan mengatur gaji dan standar pesangon bagi anggota DPR yang sudah bekerja untuk kepentingan publik,” katanya.
Sementara anggota Komisi III DPR RI Ahmad Yani mengatakan bahwa UU MD3 harus diperbaiki terkait dengan dana pensiun bagi anggota DPR yang terlibat kasus korupsi. “Undang-Undang MD3 itu harus diperbaiki, perlu revisi ulang apalagi terkait dana pensiun bagi anggota DPR yang terbukti turut lakukan tindak pidana korupsi,” ujar Ahmad Yani.
Berdasarkan UU MD3, anggota dewan yang berhenti dari jabatannya secara terhormat masih memiliki hak untuk mendapatkan uang pensiun. Permasalahan yang muncul adalah hampir semua anggota dewan yang terlibat kasus korupsi melakukan pengunduran diri sebelum pengadilan menjatuhkan putusan final atau inkracht.
“Dalam Undang-Undang MD3 menyatakan kalau anggota diberhentikan dengan tidak hormat maka dia tidak akan mendapatkan hak-haknya. Ini kan mereka mengundurkan diri berarti berhenti dengan terhormat,” ujar Ahmad Yani.
Ahmad Yani mengemukakan bahwa dia setuju bila hak berupa dana pensiun bagi anggota DPR yang terbukti terlibat kasus korupsi dicabut karena UU MD3 masih memiliki celah yang dapat memberikan anggota DPR yang terlibat kasus korupsi, untuk mendapatkan dana pensiun.