Selain memperhatikan aspirasi agar kepolisian memperkenankan Polwan mengenakan jilbab, Kapolri diminta pula untuk memperhatikan kesetaraan gender di tubuh institusi Polri.
“Jadi bukan hanya jilbab saja, kesetaraan kesempatan polisi wanita (polwan) wajib dipenuhi pula oleh Kapolri,” kata Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Eva Kusuma Sundari seraya mengapresiasi pula pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman yang mempersilakan polwan berjilbab sebagai hak asasi manusia (HAM) mereka.
Namun, di sisi lain, Eva berpesan kepada kaum hawa di jajaran Polri yang mengenakan jilbab agar tidak menjadikan polwan bersikap eksklusif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
“Terkait dengan pelaksanaannya Polri hanya perlu memperluas pilihan kepada para polwan di daerah lain dari skema yang selama ini disediakan untuk polwan di Aceh,” katanya.
PDI Perjuangan berharap hal jilbab ini menjadi awal pemenuhan HAM polwan di bidang-bidang yang lebih strategis, misalnya terkait dengan kesetaraan kesempatan dalam berkarier di kepolisian, terutama untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan.
Diskriminasi itu, kata Eva, terlihat dari fakta tidak ada satu pun kepala kepolisian daerah yang perempuan sejak Brigjen Polisi Rumiah meninggalkan kursi Kapolda Banten, Februari 2010. Rumiah ketika berpangkat komisaris besar polisi merupakan wanita pertama yang menjadi kapolda. Dia diangkat menjadi Kapolda Banten pada Januari 2008.
PDI Perjuangan berharap Kapolri baru serius melakukan pembenahan kultur organisasi Polri untuk lebih akuntabel, termasuk terhadap isu HAM perempuan ke internal Polri sehingga lebih mampu memproteksi HAM rakyat perempuan.
“Kita juga berharap Kapolri yang baru tidak mengabaikan isu kesetaraan gender seperti kepala-kepala Polri terdahulu,” kata anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan itu.
Dari perjalanan reformasi Polri selama 15 tahun, komposisi polwan versus polisi laki-laki, menurut Eva, masih sangat rendah atau sekitar 3 persen. Ini ironis karena Polri masih mempertahankan karakter militeristiknya yang diskriminatif dan menyubordinasi perempuan.
Ia menilai janji empat kepala Polri untuk meningkatkan persentase perempuan hingga 30 persen hanya kebohongan belaka karena tidak disertai strategi afirmasi untuk mewujudkannya.
Di lain pihak, tidak sensitif dan responsifnya kelembagaan Polri juga tercermin dalam kinerja. Misalnya, para pelaku polisi laki-laki pemerkosa, baik di Jayapura, Gorontalo, maupun di Aceh, tidak mendapat hukuman.
Sebaliknya, polwan Mojokerto yang bolos untuk menghindari pelecehan komandannya atau polwan korban penyebaran foto pribadi oleh bekas pacar, keduanya diproses cepat dan dipecat.