Disetujuinya Rancangan Undang-undang Panas Bumi di Pembicaraan Tingkat I, menjadi angin segar bagi sumber energi terbarukan bagi Indonesia. Wakil Ketua Pansus RUU Panas Bumi Satya Widya Yudha menyatakan, dengan adanya RUU ini, menggeser paradigma ketergantungan sumber energi dari fossil fuel ke non fossil fuel.
“RUU Panas Bumi ini sebagai tanda paradigma baru dari ketergantungan kita terhadap fossil fuel, kepada non-fossil fuel, yaitu energi baru dan perbarukan. Hal ini harus ditindaklanjuti oleh pemerintah secara keseluruhan, dimana memberikan insentif-insentif fiskal, untuk memajukan energi panas bumi, termasuk energi terbarukan yang lain,” jelas Satya, usai raker dengan pemerintah membahas RUU Panas Bumi, di Ruang KK I, Gedung Nusantara, Jumat (04/07) malam.
Politisi Golkar ini menegaskan, pengembangan energi baru di Indonesia menjadi musuh utama dalam melawan subsidi minyak bumi. Sehingga, pemerintah harus mencari langkah alternatif dalam mengurangi, bahkan menghilangkan subsidi minyak.
“Pemerintah harus cerdik menghilangkan subsidi, dan pelan-pelan membiarkan harga minyak bumi yang tidak tersubsidi. Kemudian memberikan kemudahan insentif yang lain untuk pengembangan energi, maka ke depannya kita akan menangkap energi terbarukan yang lebih cerah di masa yang akan datang,” harap Satya.
Namun, tambah Satya, jika pemerintah masih memberikan subsidi yang besar kepada minyak bumi, maka nasib pada energi terbarukan tidak sesuai dengan harapan adanya RUU Panas Bumi. Padahal, dengan menggunakan energi panas bumi, cukup mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
“Dengan menggunakan energi panas bumi, sangat berpengaruh terhadap besaran subsidi listrik. Jadi mesti diingat bahwa cara menghitung subsidi listrik itu dari komponen Biaya Pokok Penyediaan (BPP). 70% dari penghitungan BPP kita tergantung dari bauran energi mix, apabila energi mixnya mengurangi ketergantungan Bahan Bakar Minyak, berarti BPP-nya akan mengecil. Dengan BPP mengecil subsidi listirk juga akan berkurang,” jelas Politisi asal Dapil Jawa Timur ini.
Dalam pengembangan energi panas bumi ini, nanti akan menerapkan investasi terbuka, sehingga diharapkan dapat mengundang investor yang mau berkecimpung mengolah energi panas bumi Indonesia.
“Kita menginginkan investor yang serius, dan tidak mesti asing. Mereka betul-betul serius mengerjakan lapangan (sumber energi panas bumi) itu, sehingga menghasilkan listrik-listrik yang akan menambah electricity ratio kita,” tutup Satya.
Berdasarkan hasil raker antara Pansus RUU Panas Bumi dengan Pemerintah, direncanakan RUU ini akan dibawa ke Pembicaraan Tingkat II pada Sidang Paripurna mendatang.