Rapat paripurna DPRD SBD dengan agenda pelantikan Bupati dan Wakil BUpati SBD, Markus Dairo Talu, S.H dan Drs. Ndara Tanggu Kaha (MDT-DT) pada Rabu (6/8/2014), yang dipimpin Wakil Ketua DPRD SBD, Yusuf Mallo, Rabu (6/8/2014) tidak sah. Karena itu, apapun yang dihasilkan dalam rapat itu juga tidak sah.
Hal itu disampaikan pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana Kupang, John Tuba Helan, ketika ditemui Pos Kupang seusai acara Halal bihalal di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) NTT, Kamis (7/8/2014).
Menurutnya, meski Yusuf Mallo adalah salah satu pimpinan DPRD SBD dan sifat kepemimpinan yang kolektif kolegial, namun ketika Yusuf Mallo tidak mendapatkan mandat dari Ketua DPRD SBD, Yoseph Malo Lende, maka Jusuf Mallo tidak bisa mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan hal-hal yang mewakili DPRD secara institusi.
"Pimpinan DPRD itu sifatnya kolektif kolegial, tetapi soal administrasi harus oleh ketua, kecuali ada mandat atau ada kesepakatan antara pimpinan DPRD. Karena itu, wakil ketua tidak bisa berinisiatif sendiri manakala masih ada ketua. Dia harus mendapat mandat atau pelimpahan kewenangan dari ketua," jelas Tuba Helan.
Karena itu, lanjut Tuba Helan, ia menilai apa yang dilakukan oleh Wakil Ketua DPRD SBD, Yusuf Mallo, keliru dan bisa dianggap tidak pernah ada rapat paripurna istimewa agenda pelantikan bupati danw akil bupati.
"Apalagi, rapat paripurna istimewa itu untuk pelantikan Bupati dan Wakil Bupati. Apakah penetapan jadwal pelantikan telah melalui rapat badan musyawarah dan persiapan lainnya, ataukah semuanya dilakukan sendiri oleh Jusuf Mallo," katanya.
Tuba Helan menegaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pelantikan bupati dan wakil bupati harus dilakukan dalam rapat paripurna DPRD.
Secara terpisah Ketua DPRD NTT, Ibrahim Agustinus Medah mengatakan, rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPRD SBD, Jusuf Mallo tetap sah, meskipun agenda untuk pelantikan tidak berjalan karena Gubernur NTT tidak hadir.
"Menurut saya itu hanya miskomunikasi karena sebelumnya gubernur bersurat untuk dilantik. Tetapi kemudian karena gubernur beralasan bahwa kondisi kurang kondusif sehingga kemudian ditunda. Bahwa forum kemarin itu sah atau tidak karena itu satu sidang, maka itu sah saja. Hanya persoalannya terjadi miskomunikasi itu bahwa mereka tidak mungkin mereka tidak dapat surat dari gubernur atau terlambat," kata Medah.
Medah menyarankan Gubernur NTT mempertimbangkan tempat alternatif untuk pelantikan Bupati dan Wakil Bupati SBD karena dalam regulasi tidak mengatur tentang tata cara pelantikan kepala daerah, apalagi sudah ada konvensi atau contoh bahwa kepala daerah di tempat lain di Indonesia dilantik di luar rapat paripurna DPRD.
Menurut Medah, berkas pelantikan yang diserahkan kepada Mendagri melalui Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) AM Fatwa, itu salah satu alternatif untuk memecahkan persoalan.
"Makanya saya bilang, kalau Gubernur tidak bisa lantik, ya Gubernur lapor Mendagri saja supaya Mendagri yang selesaikan. Mendagri yang melantik saja," kata Medah.