Paripurna DPR RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Panas Bumi sebagai Undang-Undang. "Kita ketahui bahwa kebutuhan Indonesia terhadap energi terus meningkat namun seiring pertumbuhan ekonomi tidak diimbangi energi suplai,"ujar Ketua Pansus RUU Panas Bumi Nazarudin Kiemas saat membacakan pandangan Pansus terhadap RUU Panas Bumi di Gedung Nusantara II, Selasa, 26 Agustus 2014.
Menurut Kiemas, Kebutuhan energi di Indonesia masih tergantung energi fosil. Padahal diketahui Indonesia dilalui jalur api mulai dari Pulau jawa, Sumatera dan Maluku.
"Potensi energi panas bumi sangat berlimpah bahkan mencapai 229 titik lokasi yang tersebar di Indonesia. Sebanyak 207 MW potensi panas bumi dunia, namun pengembangan panas bumi baru berpotensi sebesar 4.6 persen,”ujar Kiemas.
Kiemas menambahkan, Rancangan Undang-Undang Panas Bumi ini akan menggantikan Undang-Undang No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi. "Dengan disahkannya UU ini maka Kebijakan Energi Nasional menegaskan pentingnya peran panas bumi dimana kontribusinya sesuai bauran energi mix yang harus mencapai 23 persen dalam tahun 2025,"ujarnya.
Kiemas juga mengatakan, pasal dan isi terkait RUU Panas Bumi meliputi beberapa hal krusial diantaranya perijinan, insentif dan pengelolaan lahan. "Pemda berhak mendapat bonus produksi dalam pemanfaatan tidak langsung terhadap panas bumi, hal ini menjadi prioritas utama dalam pengelolaan panas bumi,"tandasnya.
Selain itu, lanjutnya, pemanfaatan kawasan hutan untuk panas bumi harus dapat menjaga hutan agar tetap lestari.