RUU Kesehatan dianggap rendahkan martabat dokter, ini 5 alasan menolak

Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), menyatakan penolakan keras terhadap RUU (Rancangan Undang Undang) Kesehatan yang akan disahkan menjadi Undang Undang dalam sidang paripurna DPR RI, Kamis (25/9/14). Organisasi dokter ini membeberkan keprihatinannya kepada pimpinan DPR RI, Rabu (24/9/14). Pasalnya, RUU Kesehatan dianggap merendahkan martabat dokter.

Selain PDUI dan KKI yang menolak itu, ada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Forum Bidan Pegawai Tidak Tetap Indonesia (Bidan PTT), Solidaritas Tukang Gigi Indonesia (STGI), dan perwakilan dari Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) diwakili oleh Yeni Rosa Damayanti. Anggota DPR RI Komisi IX membidangi kesehatan dan tenaga kerja, Rieke Diah Pitaloka ikut mendampingi saat para perwakilan tersebut bicara terhadap pimpinan DPR Pramono Anung.

Berikut alasan penolakan RUU Tenaga Kesehatan tersebut;

1. Tidak memosisikan para tenaga kesehatan sebagai pekerja yang perlu mendapatkan hak-hak dan perlindungan sebagai pekerja:

a. Hanya mengatur penempatan tenaga kerja di Fasilitas Kesehatan Pemerintah, itu pun dengan melegalkan pegawai dengan perjanjian kerja (kontrak kerja tanpa batas masa kerja yang jelas), untuk kemudian menjadi pegawai tetap negara/PNS (bertentangan dengan Pasal 59 UU No.13/2003) dan kepastian status kerja sebagai pekerja tetap pemerintah (Pasal 23 ayat 2b).

b. Tidak membahas posisi tenaga kesehatan sebagai pekerja di fasilitas kesehatan swasta. Hal ini menafikkan tenaga kesehatan yang berposisi sebagai tenaga kerja baik di industri farmasi maupun fasilitas kesehatan milik BUMN maupun swasta. Pada beberapa kasus mengalami pelanggaran hak-hak normatif, seperti upah yang tidak sesuai dengan upah minimum, jam kerja diluar batas ketentuan, tidak adanya hak cuti melahirkan, PHK tanpa pesangon, status kerja outsourcing dan kontrak yang berkepanjangan. Problem yang sama juga terjadi pada tenaga kesehatan seperti mereka yang berstatus sebagai pegawai tidak tetap. Problem ini juga dialami oleh tenaga kesehatan pemerintah (bertentangan dengan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan);

c. Tidak membahas kepastian perlindungan tenaga kesehatan yang bekerja sebagai buruh migran (indikasi melanggar Undang-Undang 39/2004 tentang PPTKILN dan Undang-Undang No. 6/2012 Tentang Pengesahan Konvensi PBB 1990 mengenai perlindungan hak-hak pekerja migran dan keluarganya).

d. Mengunci hak politik untuk berorganisasi hanya pada satu organisasi profesi (pasal 50 ayat 2), tidak memberi ruang hak politik tenaga kesehatan sebagai pekerja yang memiliki hak untuk berserikat di tempat kerja. Padahal, klausul ini penting bagi tenaga kesehatan sebagai pekerja untuk kekuatan melakukan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan pemberi kerja agar tercipta kerja yang layak dan terciptanya peningkatan kesejahteraan (bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28e

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tertulis” dan Undang-Undang No. 21/2000 tentang Serikat Buruh dan Serikat Pekerja.)

2. Dalam RUU Tenaga Kesehatan disebutkan tenaga kesehatan tradisional yang dibagi menjadi Tenaga Kesehatan Tradisional Ramuan dan Tenaga Kesehatan Tradisional Keterampilan (pasal 11 ayat 1 huruf L dan ayat 13). Dalam penjelasan dikatakan bahwa tenaga kesehatan yang dimaksud untuk bisa melakukan praktek diwajibkan memiliki pendidikan formal minimal setara D3, tanpa keterangan pengecualian. Hal ini akan mengebiri hak-hak tenaga kesehatan terkait yang merupakan bagian dari tradisi dan nilai-nilai lokal yang tidak memiliki jenjang pendidikan seperti yang dimaksud.

3. Dalam RUU Tenaga Kesehatan ada indikasi diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan dengan mensyaratkan untuk mendapatkan surat izin praktek (SIP) harus memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental. Namun, dibagian penjelasan dalam Pasal 44 tidak mengatur pengecualian bagi penyandang disabilitas (bertentangan dengan Undang-Undang No. 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Disabilitas).

4. Dalam RUU Tenaga Kesehatan diperintahkan untuk membentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia atau KTKI yang membawahi konsil-konsil profesi tenaga kesehatan masing-masing profesi. Konsil ini adalah badan baru yang berkedudukan di Ibukota dan didanai oleh APBN. Selain berindikasi membebani keuangan negara dan tidak memperhitungkan otonomi daerah, konsil “pusat” ini dianggap bisa menimbulkan hilangnya independensi masing-masing organisasi profesi dan konsil profesi tenaga kesehatan yang sudah ada. Untuk itu, keberadaan konsil tersebut dianggap belum tepat.

5. Terkait kualifikasi tenaga kesehatan dalam pasal 9 ayat 1 dan pasal 11 ayat 1 baik dalam batang tubuh maupun penjelasan tidak menguraikan secara terperinci peran, tugas, hak, dan tanggung jawab masing-masing tenaga kesehatan. Bahkan, tidak menyebutkan secara tegas akan diatur lebih lanjut hal tersebut dalam peraturan perundangan tersendiri (bertentangan dengan Undang-Undang No. 29/2004 tentang Praktek Kedokteran).

Para perwakilan organisasi profesi kesehatan itu juga menyatakan sikap bersama sebagai berikut:

1. MENDUKUNG DISAHKANNYA UU KEPERAWATAN dan MENOLAK DISAHKANNYA UU TENAGA KESEHATAN pada Paripurna DPR RI.

2. Mengusulkan pada Program Legislasi Nasional 2014-2019 RUU Perlindungan Tenaga Kesehatan yang lebih komprehensif antara hak dan kewajiban setiap profesi kesehatan yang sejalan dengan RUU Perlindungan Hak-Hak Pasien.

Diposting 25-09-2014.

Mereka dalam berita ini...

Rieke Diah Pitaloka

Anggota DPR-RI 2009-2014 Jawa Barat II
Partai: PDIP

Pramono Anung Wibowo

Anggota DPR-RI 2009-2014 Jawa Timur VI
Partai: PDIP