Wakil Ketua DPR Agus Hermanto membantah bahwa hak imunitas yang melekat kepada anggota Dewan bertujuan untuk membuat anggota DPR kebal dari permasalahan hukum.
"Tidak ada itu, tidak seperti itu," kata Agus di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (21/11/2014).
Namun, saat ditanya apa tujuan dirancangnya Undang-undang yang mengatur mengenai hak imunitas tersebut, Agus Hermanto enggan menjelaskan lebih jauh. "Ya, sudah ditetapkan seperti itu lah," ujarnya.
Oleh karena itu, meskipun DPR saat ini akan merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), menurut Agus, pasal yang mengatur hak imunitas anggota Dewan tak akan ikut direvisi.
Baleg hanya akan fokus merevisi pasal-pasal yang disepakati oleh Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih sebagai perjanjian kesepakatan damai.
"Yang kita ubah itu, hanya yang berkaitan dengan pimpinan AKD di komisi, badan dan mahkamah. Lalu ada pasal yang redundant terkait hak anggota Dewan. Kita lebih cepat merevisi UU MD3, bisa bekerja lebih cepat juga," ujar Agus.
Dalam pasal 224 ayat (5) UU MD3 menyebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD.
Dalam ayat (6), diatur bahwa MKD harus memproses dan memberikan putusan atas surat permohonan tersebut paling lambat 30 hari setelah surat tersebut diterima.
Namun, ayat 7 menyebutkan, jika MKD memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota DPR, maka surat pemanggilan sebagaimana dimaksud ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum atau batal demi hukum.
Meski demikian, ada aturan lain yang mengatur soal pemanggilan anggota DPR terkait tindak pidana, yakni dalam Pasal 245.
Dalam pasal tersebut, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD.
Dalam ayat (2), diatur bahwa jika MKD tidak memberikan persetujuan tertulis dalam waktu 30 hari sejak permohonan diterima, maka pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan.
Adapun dalam ayat (3) diatur kasus apa saja yang tidak perlu persetujuan tertulis dari MKD.
Aturan itu tidak berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Selain itu, anggota yang disangka melakukan tindak pidana khusus dan disangka melakukan tindak pidana khusus. Di luar kasus-kasus itu, proses hukum harus melewati MKD.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang mengatakan, aturan tersebut berbahaya bagi penegakan hukum. Menurut dia, aturan itu dibuat secara sadar agar anggota Dewan bisa terhindar dari proses hukum.
"Semangat DPR ketika merancang ingin lari dari tanggung jawab hukum. Ini berbahaya. Semua orang harus sama di mata hukum," kata Sebastian ketika dihubungi, Kamis (20/11/2014).
Sebastian mengatakan, jika MKD tidak menyetujui pemanggilan anggota di luar yang diatur dalam Pasal 245, maka dampaknya proses hukum bisa dianggap selesai. Padahal, MKD semestinya hanya menangani masalah etika dan tidak masuk dalam proses hukum. Untuk itu, perlu ada revisi aturan tersebut.