Pemerintahan Joko Widodo berencana melakukan reorganisasi TNI dalam lima tahun untuk memperkuat struktur dan juga meningkatkan kemampuan organisasi pertahanan negara dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks.
Dalam rancangan reorganisasi itu, diwacanakan akan ada satu posisi tambahan yang penting dalam jajaran pimpinan, yakni Wakil Panglima TNI.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Hanafi Rais memandang, mestinya Presiden menyampaikan terlebih dahulu konteks kebijakannya seperti apa, sehingga sampai perlu ada penambahan jabatan Wakil Panglima TNI.
Apakah itu terkait dengan kebutuhan lapangan soal ancaman dalam negeri dan luar negeri, atau ada kebutuhan lainnya sehingga Pemerintah harus memunculkan jabatan baru tersebut.
"Jangan sampai ada spekulasi publik bahwa Presiden menambah jabatan baru di TNI, karena belum selesai bagi-bagi kekuasaan usai Pilpres. Penting untuk diingat bahwa TNI harus profesional," ujarnya melalui pesan singkat yang diterima redaksi, Rabu (18/3).
Menurut legislator dari Fraksi PAN itu, kalau ada rencana penambahan jabatan baru, harusnya Presiden mengacu pada UU TNI. Khusus soal Wakil Panglima TNI, realitasnya tidak diatur.
"Keberadaan jabatan baru di TNI itu yang mengatur Presiden melalui Keputusan Presiden. Begitu kata UU TNI. Tapi, sekalipun itu adalah urusan Pemerintah, alasan tambahan jabatan baru sebagai pengisi kekosongan jika Panglima TNI sedang bertugas di luar negeri kurang pas. Kami tidak menemukan relevansinya," tegas Hanafi.
Terkait isu ini, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menyatakan bahwa rencana reorganisasi TNI sudah mulai dibahas sejak pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
"Rencana ini sebenarnya sudah ada dari masa SBY. Reorganisasi terutama adalah pengembangan Divisi Kostrad, Komando Armada TNI AL, Komando Operasi Angkatan Udara," tegasnya.