Masih ada masalah jelang berlakunya BPJS Ketenagakerjaan 1 Juli 2015 mendatang. Masalah itu adalah belum ditekennya Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun sebagai payung hukum Iuran Jaminan Pensiun.
"Pokoknya PP harus segera ditetapkan, karena jika ini (PP - red) besaran iuran tersebut tidak disepakati sekarang maka pembahasan tentang besaran yang sudah dibicarakan sebelumnya akan sia-sia. Pihak pekerjalah yang akan mengalami kerugiaan," cetus anggota komisi IX Fraksi NasDem, Irma S Chaniago dalam siaran persnya, Kamis (4/6).
Menurut Legislator NasDem dari Dapil Sumsel II ini, diperlukan adanya regulasi sebagai payung hukum untuk mendukung kinerja BPJS Ketenagakerjaan. "Misalnya soal sanksi. Sanksi apa yang diberikan kepada perusahaan yang tidak mendaftarkan serta mengeluarkan kewajiban iurannya apa sanksinya. Selain itu, jika ada pelanggaran, kepada siapa sanksi itu diberikan," terangnya.
Irma menaruh perhatian khusus terhadap keberadaan pekerja outsourching (kontrak). Kata dia, perlu juga dibuat regulasi yang sama.
"Dengan adanya regulasi yang mendasar mereka harusnya juga dapat merasakan manfaat dari iuran jaminan pensiun. Regulasi itu harus disepakati, karena masa kerja mereka (tenaga kerja outsourching-red) yang selalu diperpanjang. Harus ada regulasi yang jelas berkaitan dengan posisi mereka agar tetap memperoleh manfaat iuran jaminan pensiun. Jangan sampai merugikan mereka," terangnya.
Irma mendorong DPR dan pemerintah tidak berbicara dalam kata-kata bersayap, apalagi dalam menentukan sebuah keputusan berkaitan dengan pekerja. "Contohnya ketika berbicara manfaat yang didapatkan pekerja dari iuran jaminan pensiun. Harus jelas berapa besar manfaat yang dapat diperoleh. Jika nanti malah yang keluar angka dua persen, dimana perbandingannya satu persen buruh dan satu persen pengusaha, itu kan bicara manfaat juga," kritiknya.
Menurutnya, BPJS Ketenagakerjaan, tentu tidak bisa menerapkan sanksi kalau tidak ada payung hukum yang melindunginya. Jadi, Kementerian Tenaga Kerja-lah, sebagai wakil pemerintah yang memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi. "Jika regulasinya sudah jelas tentu Kementerian Tenaga Kerja bisa memberi sanksi bagi perusahaan yang melanggar, misalnya dengan pencabutan izin usaha," jelas Irma.
Sebagai informasi, dalam paparan di rapat dengar pendapat dengan komisi IX DPR, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Evelyn G Masassya, menyampaikan, formula besaran manfaat yang telah disetujui ditingkat kementerian. Formula manfaat yang digunakan adalah, satu persen kali masa iuran kali rata-rata upah tertimbang selama masa iuran. Untuk pensiunan yang cacat ditentukan akan memperoleh 100 persen formula, janda atau duda pekerja diatas 50 persen formula, anak pensiunan 50 persen formula, sedangkan orang tua pekerja (bagi pekerja lajang-red) memperoleh 20 persen formula.
"Saya optimistis serta memiliki keyakinan bahwa Presiden pasti memiliki sense terhadap persoalan hal ini, mudah-mudahan PP BPJS Ketenagakerjaan sudah diputuskan sebelum launching," terang dia.
Ketua Gemuruh NasDem ini berharap agar permasalahan yang terjadi dengan BPJS Kesehatan tidak terjadi dengan BPJS Ketenagakerjaan saat di resmikan nanti. Ia menegaskan hal ini berkaitan dengan pemutakhiran data kepesertaan yang menurutnya belum tuntas. "Dalam hal update data kepesertaan jangan hanya andalkan data dari perusahaan tetapi juga data dari tenaga kerja. Jika tidak, maka akan kacau kedepannya," jelasnya.
Kedepannya Irma berharap pemerintah juga dapat mengalokasikan anggaran untuk program jaminan pensiun serta program BPJS Ketenagakerjaan lainnya. "Jika kondisi keuangan negara sudah relatif aman, maka saya rasa pemerintah harus berperan dalam mengalokasikan anggaran untuk iuran jaminan pensiun serta iuran BPJS lainnya bagi tenaga kerja," tandasnya