Pemerintah didesak menaikkan cukai rokok hingga 57 persen oleh sejumlah pihak. Namun, Anggota Komisi XI DPR Misbakhun, menilai, desakan itu harus dilihat secara adil.
Sebab, menurutnya, setiap tahun cukai rokok selalu dinaikkan demi meningkatkan sumber penerimaan negara. Tahun ini saja pemerintah menargetkan penerimaan cukai rokok sebesar Rp 139 triliun. Sementara, tahun 2014, realisasi cukai tembakau mencapai Rp 116 trilun. Artinya, tren penerimaan negara sektor cukai tembakau juga terus meningkat dari setiap tahun anggaran.
"Pemerintah harus memperhatikan dampak kenaikan cukai, seperti pemecatan hubungan kerja (PHK) massal, dan gulung tikarnya perusahaan rokok golongan kecil dan menengah," ujar Misbakhun, Jakarta, Senin (3/8).
Sebagai legislator asal Jawa Timur, tempat bermukimnya banyak pabrik dan petani rokok kecil maupun besar, Misbakhun mengaku menyaksikan sendiri dampak kebijakan pemerintah terkait industri itu. Pada tahun 2014, banyak perusahaan rokok terpaksa mem-PHK buruhnya.
Antara lain, perusahaan rokok Bentoel di Malang mem-PHK sekitar 1.000 buruhnya, HM Sampoerna mem-PHK sekitar 4.900 buruhnya, karena dua pabriknya di Lumajang dan Jember, Jawa Timur, tutup. Gudang Garam Kediri yang mem-PHK sekitar 2.000 orang buruhnya.
Selain itu, menurut dia, kenaikan cukai rokok juga berdampak pada gulung tikarnya pabrik rokok. Tahun 2009, jumlah pabrik rokok sekitar 4.900 buah. Sementara, tahun 2012, jumlah pabrik rokok berkurang menjadi 1.000 buah.
“Makin tinggi nilai cukai, makin besar potensi kematian pabrik, dimulai dari golongan menengah ke bawah,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah harus berpikir ulang untuk menaikkan cukai rokok yang dibebankan pada industri kretek nasional. Baginya, aspek ekonomi-sosial harus dijadikan pertimbangan dalam membuat kebijakan.
"Kita butuh penerimaan negara dari cukai, tetapi ada aspek ekonomi yang lebih penting dari sekadar menaikkan pemerimaan negara dari cukai rokok," katanya.
Bagi politikus Golkar itu, ada banyak peluang lain untuk mendorong keragaman penerimaan negara dari sisi cukai, yang tidak semata-mata mengandalkan dari cukai hasil tembakau. Dalam konteks ini, Kementerian Keuangan perlu diversifikasi kebijakan cukai yang untuk mendukung pengembangan kebijakan cukai lainnya.
Sebagai contoh, Misbakhun yang juga anggota Baleg DPR mengatakan, minuman berpemanis gula bisa menjadi alternatif pengenaan obyek cukai baru. Sebab, jenis minuman ini sesungguhnya peredarannya harus dikendalikan, sehingga patut untuk dikenai cukai.
"Padahal, kita tahu minuman ini peredarannya masif, bahkan dikonsumsi oleh semua kelompok umur tanpa ada peringatan bahaya bagi pengonsumsinya," jelasnya.
“Pemerintah jangan lagi menaikkan cukai rokok terus menerus dikaitkan dengan isu kampanye untuk kesehatan," tegas Misbakhun.