Faktor keamanan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari industri hulu minyak dan gas bumi (migas). Selain penghasil penerimaan negara, sektor ini memasok energi dan menggerakkan roda perekonomian dengan menggandeng dan mengembangkan sektor lain yang menunjang kegiatan hulu migas.
Kegiatan hulu migas mengandung risiko besar terkait dengan hasil produksinya yang tergolong bahan mudah terbakar. Tidak hanya itu, pengamanan juga dibutuhkan karena wilayah kerja fasilitas operasi hulu migas merupakan aset negara.
Gangguan keamanan di daerah operasi hulu minyak dan gas bumi masih menjadi tantangan tersendiri bagi kontraktor kontrak kerja sama (Kontraktor KKS). Banyaknya gangguan keamanan pada tingkat lokal, nasional, atau lintas batas telah mengakibatkan tertundanya berbagai kegiatan inti kegiatan hulu migas, yaitu survei seismik, pengeboran, pengembangan lapangan baru, atau bahkan transportasi hasil produksi. Faktor non-teknis seperti gangguan keamanan menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya target produksi nasional.
Untuk meredam terjadinya gangguan keamanan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terus berupaya menjaga dan meningkatkan keamanan di daerah operasi migas. Institusi pengelola kegiatan usaha hulu migas ini telah menjalin kerja sama dengan TNI Angkatan Darat (AD), TNI Angkatan Laut(AL), dan kepolisian. Salah satu bentuk kerja samanya adalah SKK Migas dan TNI AD menyepakati kerja sama dalam penguatan pembinaan teritorial di wilayah kerja kegiatan usaha hulu migas (bisa dielaborasi lebih jauh soal kerja sama dengan TNI AD, jadi tidak timpang dengan TNI AL).
Kini, dengan semakin meluasnya aktivitas industri hulu migas yang tidak hanya di daratan, aktivitas pengeboran lepas pantai (offshore) ternyata tidak lepas dari ancaman dan gangguan. Apalagi fasilitas dan peralatan produksi lepas pantai tersebar di seluruh Indonesia hingga ke perbatasan negara, seperti Kepulauan Anambas, Kepulauan Natuna, Selat Makassar, dan Laut Arafura. Saat ini, ada 28 kontraktor KKS offshore yang sudah berproduksi dengan lokasi tersebar dari perairan Aceh hingga Papua.
Adanya potensi ancaman dan gangguan pada kegiatan operasi di offshore mendorong SKK Migas untuk melakukan pengamanan fasilitas negara secara komprehensif. Selain pengamanan yang dilakukan oleh internal Kontraktor KKS, SKK Migas turut menggandeng pihak polisi dan militer.
“Kesinambungan produksi migas nasional merupakan hal yang vital dan harus dijaga bersama. Terganggunya kegiatan operasional yang mengakibatkan turunnya produksi akan menimbulkan kerugian yang cukup besar,” kata Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dalam penandatanganan perpanjangan Piagam Kesepakatan Bersama antara SKK Migas dan TNI Angkatan Laut di Surabaya,Jawa Timur pada (12/05/2015).
Dalam perpanjangan kesepakatan yang ditandatangani Amien Sunaryadi dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi itu, disebutkan kerja sama ini berlaku selama lima tahun mulai 2015 hingga 2020. Penandatanganan ini sebagai penyempurnaan dari kesepakatan yang sudah ditandatangani pada 2010 menyusul adanya perubahan nomenklatur dari BP MIGAS menjadi SKK Migas.
Laksamana TNI Ade Supandi mengatakan bahwa pihaknya akan mendukung SKK Migas untuk menghindari terjadinya teror maupun sabotase terhadap fasilitas migas di lepas pantai. “Kami juga akan membantu pemetaan fasilitas industri hulu migas, mengamankan kegiatan survei, serta menetralkan ranjau pada wilayah kerja migas di laut lepas,” katanya.
Selain itu, TNI Angkatan Laut akan memberikan pelatihan untuk meningkatkan sumber daya manusia di bidang pengamanan serta saling tukar informasi melalui penempatan personel (liaison officer).Hal itu sesuai dengan UU Nomor 34/2004 yang menyatakan pengamanan objek vital yang merupakan bagian dari operasi militer selain perang (OMSP) dilakukan oleh TNI.
Kerja sama dengan pihak berwenang ini sangat membantu mengatasi gangguan keamanan di wilayah operasi. Namun, perlu di ingat menjaga fasilitas dan kegiatan hulu migas bukan hanya tugas SKK Migas dan TNI semata.
Pemerintah pusat dan daerah harus lebih proaktif mengatasi gangguan keamanan yang menjadi penghambat kinerja sektor hulu migas. Apalagi sesuai prosedur operasi standar pengamananan objek vital nasional bahwa pengamanan menjadi tugas pemda dan kepolisian.
Pengamanan objek vital nasional sektor hulu migas mengacu pada ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 63/2004. Secara khusus, aturan terkait pengamanan operasional dan fasilitas industri hulu migas itu termaktub dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 347/2012. Di dalamnya mencakup 108 unit wilayah kerja dan fasilitas hulu migas yang termasuk dalam objek vital nasional.
Pentingnya pengamanan objek vital nasional sektor migas ini membuat parlemen mengagendakan pembahasan hal itu dalam revisi UU Migas yang tengah dibahas Dewan perwakilan Rakyat (DPR).
"Kita akan masukkan ketentuan pengamanan hulu migas sebagai obvitnas dalam revisi UU migas," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya Widya Yudha.