Subsidi BBM Segera Dihapus

 Pemerintah tengah mempersiapkan kebijakan energi nasional yang diluncurkan dalam waktu dekat. Harga BBM akan sesuai dengan harga pasar. Subsidi yang masih diberikan untuk solar dan minyak tanah akan dihapus. Kebijakan energi nasional itu mengantisipasi habisnya produksi minyak Indonesia dan mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan.

Harga bahan bakar minyak (BBM) diturunkan pemerintah, mulai Selasa (5/1). BBM jenis premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali turun dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.050 per liter, sedangkan di luar wilayah tersebut turun dari Rp 7.300 per liter menjadi Rp 6.950 per liter. Premium ini sudah tidak mendapatkan subsidi.

Untuk BBM solar bersubsidi harganya diturunkan dari dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.650 per liter. Sedangkan harga kerosen (minyak tanah) bersubsidi tetap sebesar Rp 2.500 per liter. Solar masih disubsidi Rp 1.000 per liter dan minyak tanah sekitar Rp 3.779 per liter.

Meski kebijakan subsidi BBM akan dihapus, namun subsidi tetap diberikan untuk orang miskin dan hampir miskin. Berdasarkan perkiraan Kementerian Sosial, jumlah orang miskin dan hampir miskin tersebut sekitar 90 juta.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran menjelaskan, harga BBM yang akan naik-turun mengikuti perkembangan harga keekonomian itu tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang bakal ditandatangani Presiden Joko Widodo Februari mendatang. Selain itu, ke depan, subsidi terus diturunkan sebagaimana kini menjadi tren dunia karena sangat membebani anggaran pemerintah yang semestinya bisa digunakan untuk pembangunan. Bahkan, negara kaya minyak seperti Arab Saudi kini menaikkan harga bensin 50%.

“Pada RUEN disebutkan mengenai kebijakan harga BBM. Harga BBM idealnya menuju harga keekonomian, meski saat ini masih diberi subsidi untuk masyarakat tidak mampu. Namun, dalam RUEN itu tidak dijelaskan kapan harga keekonomian BBM diterapkan. Itu tergantung pemerintah kapan menetapkannya," ujar Tumiran kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (6/1).

Tumiran mengatakan, RUEN menetapkan bahwa subsidi akan langsung diberikan kepada masyarakat, tidak lagi melalui produk BBM. Dengan demikian, subsidi bisa sampai kepada yang berhak yakni orang miskin dan hampir miskin.

Anggota Dewan Energi Nasional Sonny Keraf mengatakan, RUEN sudah rampung disusun dan saat ini dalam tahap sinkronisasi dengan kementerian terkait. RUEN ditargetkan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) paling lambat Februari mendatang.

“Semangat dasar RUEN ialah pengembangan energi baru dan terbarukan. Ditargetkan, bauran energi dari energi baru dan terbarukan tahun 2025 mencapai minimal 23% dan tahun 2050 mencapai minimal 31%. Saat ini, porsi energi baru dan terbarukan hanya mencapai 5%,” ujarnya kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (6/1).

Sementara itu, berdasarkan APBN 2016, total anggaran subsidi BBM dan elpiji sekitar Rp 63 triliun. Dari subsidi itu, sebanyak Rp 16 triliun digunakan untuk subsidi solar dengan kuota sekitar 16 juta kiloliter dan Rp 2,6 triliun untuk subsidi minyak tanah dengan kuota 688 ribu kiloliter.

 

Dana Ketahanan Energi

Sonny mengatakan, RUEN tidak spesifik membahas mengenai Dana Ketahanan Energi, karena semangat dasarnya adalah mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan. “Tapi, kini muncul pemikiran pemerintah harus mencari sumber pendanaan," katanya.

Sonny menuturkan, sumber pendanaan itu bisa didapat pemerintah salah satunya dengan memanfaatkan peluang melemahnya harga minyak dunia. Namun dia mengingatkan pemerintah pemupukan Dana Ketahanan Energi harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat. Dengan begitu masyarakat akan mengerti dan turut berkontribusi dalam pengembangan energi baru dan terbarukan.

"Ada kesadaran masyarakat untuk mengerem penggunaan energi fosil. Dalam jangka panjang, masyarakat akan turut berkontribusi memenuhi desakan global mengurangi energi fosil," ujarnya.

Sementara itu, anggota DEN Rinaldy Dalimi menuturkan diperlukan payung hukum apabila pemerintah ingin menerapkan pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE). Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional tidak bisa menjadi rujukan kebijakan Dana Ketahanan Energi. Menurut dia, beleid itu mengamanatkan pelaksanaan Premi Pengurasan (Depletion Premium) yang dananya disisihkan dan diambil dari eksploitasi sumber energi fosil. Artinya, pungutan dilakukan pada sisi hulu, bukan di sisi hilir sebagaimana yang akan dilakukan pemerintah saat ini untuk memupuk Dana Ketahanan Energi.

"Prinsipnya berbeda antara Premi Pengurasan dan Dana Ketahanan Energi. Kalau mau melaksanakan itu (Dana Ketahanan Energi) harus dibuat aturan tersendiri," ujarnya.

Rinaldy menuturkan aturan baru yang disusun pemerintah mengenai Dana Ketahanan Energi harus jelas mekanisme pungutannya, siapa yang mengelola, dan peruntukannya. Dia mengungkapkan DEN tidak pernah mengusulkan Dana Ketahanan Energi, namun pernah mengusulkan kepada pemerintah agar dibentuk cadangan penyangga energi dalam menyikapi melemahnya harga minyak dunia. Pasalnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki cadangan penyangga tersebut.

 

Dipanggil DPR

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya W Yudha menuturkan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pernah mengusulkan dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi VII mengenai adanya dana pengembangan energi baru dan terbarukan. Dana tersebut sesuai dengan amanat UU No 30 Tahun 2007. “Namun, dalam pembahasan itu tidak disinggung mengenai sumber dana yang dipungut dari masyarakat. Mekanisme memungut dari masyarakat tidak pernah dibicarakan. Kok, kini kesannya kami sudah membahas mengenai pemungutan dana," ujarnya.

Satya menuturkan, Komisi VII DPR akan memanggil Sudirman Said untuk menjelaskan rencana Dana Ketahanan Energi yang digulirkannya tersebut. Dalam rapat kerja yang rencananya digelar pekan depan itu, antara lain, menanyakan seberapa besar dana yang dibutuhkan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan. Lalu bagaimana membelanjakan dana yang terkumpul tersebut serta apakah sepenuhnya dipungut dari masyarakat.

"Tentunya kami setujui jika memenuhi nuasa keberlangsungan energi baru dan terbarukan. Tahun depan kami evaluasi serapannya bagaimana. Dengan begini kan menjadi terukur," ujarnya.

Dia mengapresiasi sikap pemerintah yang menunda penerapan pungutan dana tersebut. Dengan begitu ada waktu untuk mempersiapkan kebijakan ini secara matang. Menurut dia, pembahasan pungutan dana ini juga melibatkan Badan Anggaran (Banggar). Pasalnya, dana tersebut masuk dalam ketegori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Kami membuka opsi Dana Ketahanan Energi itu pun diambil dari pendapatan migas. Setelah ini semua disetujui, maka pemerintah wajib menyosialisasikan kebijakan tersebut kepada masyarakat. Yang penting disosialisasikan kepada masyarakat agar ikut berpartisipasi untuk energi ke depan yang terjaga," ujarnya.

Sementara itu, Sudirman Said menerangkan, rencana pembentukan Dana Ketahanan Energi mengemuka sejak pertengahan 2015 melalui berbagai forum publik. Konsep awal perlunya dibentuk Dana Ketahanan Energi juga pernah dikemukakan dalam raker dengan Komisi VII DPR pada September 2015. Menindaklanjuti komunikasi dengan Komisi VII tersebut, pada November 2015, Kementerian ESDM memulai inisiatif penyusunan regulasi yang pada saat ini masih terus disempurnakan.

Bersamaan dengan proses peninjauan harga BBM reguler yang dilakukan setiap tiga bulan, lanjut dia, rencana pembentukan Dana Ketahanan Energi menjadi wacana publik yang sangat luas. Banyak pihak – baik anggota DPR, pengamat energi dan perminyakan, aktivis organisasi sosial kemasyarakatan, dan akademisi – telah menyampaikan saran, kritik, masukan, dan rekomendasi jalan keluar.

"Untuk semua masukan tersebut, atas nama Kementerian ESDM, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada seluruh pihak. Saya percaya banyaknya masukan ini merupakan pertanda bahwa kita memilki kepedulian yang tinggi dalam pengelolaan energi nasional," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Investor Daily.

Sementara itu, pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanagara Ahmad Redi menuturkan, Dana Ketahanan Energi paling relevan dimasukkan ke dalam PNBP. Namun, untuk mendesain PNBP dari pungutan BBM tentu harus mengacu pada UU No 20 Tahun 1997 tentang PNBP.

Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP diatur bahwa tarif atas jenis PNBP ditetapkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah yang menetapkan jenis PNBP yang bersangkutan. Hingga saat ini. belum ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang menetapkan jenis dan tarif Dana Ketahanan Energi. "Apabila berkeinginan memungut Dana Ketahanan Energi, maka harus dilakukan reformulasi norma dalam peraturan pemerintah tentang PNBP yang berlaku pada Kementerian ESDM," ujarnya.

Diposting 07-01-2016.

Dia dalam berita ini...

S.W.Yudha

Anggota DPR-RI 2014
Jawa Timur IX