Pemerintah diminta hati-hati terkait kelanjutan proyek pembangunan kereta cepat (high speed railway/HSR) Jakarta-Bandung. Bahkan, Presiden Joko Widodo disarankan agar memerintahkan untuk mengkaji ulang sejumlah dokumen proyek senilai US$ 5,5 miliar itu, termasuk studi kelayakan hingga analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Hal tersebut diutarakan oleh pengamat kebijakan Publik Agus Pambagio, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna, hingga Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dalam acara diskusi publik terkait kelanjutan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung di Komplek DPR RI, Jakarta, Selasa (2/1).
“Ada sejumlah hal yang perlu dikaji lebih lanjut lagi terkait kereta cepat ini. Studi awalnya yang akhirnya ada keputusan dibangun, apakah kajian itu benar atau tidak mengingat pembuatannya hanya tiga bulan saja. Sementara kajian sebelumnya dari Jepang memerlukan waktu kurang lebih tiga tahun,” kata Agus pada kesempatan tersebut.
Dia melanjutkan, Presiden Joko Widodo sebaiknya menginstruksikan agar pembuat kajian dari proyek tersebut untuk melakukan presentasi di hadapannya, sehingga Beliau dapat memperoleh penjelasan secara lebih komprehensif. “(Bisa diketahui) apakah dia mengambil sebagian dari yang Jepang punya atau studi sendiri,” kata Agus.
Selain itu, pemerintah disarankan agar mengkaji ulang untuk Amdal serta kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Menurut dia, pengerjaan Amdal yang kurang lebih tiga hari itu dirasa kurang menyeluruh, mengingat analisis atas lingkungan tersebut biasanya perlu setidaknya dua musim, yakni musim panas dan penghujan.
Lebih lanjut, Agus mengatakan, Presiden juga perlu mencabut HSR Jakarta-Bandung dari lampiran Peraturan Presiden No 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Karena dengan dilampirkan proyek tersebut dalam regulasi ini, dikhawatirkan ke depannya menjadi landasan hukum untuk proyek itu agar bisa dijamin oleh pemerintah.
“Katanya tidak ada jaminan pemerintah. Tapi, kalau dalam Perpres itu ada, dan terdapat istilah dapat , artinya bisa ambigu dan bisa diperdebatkan lagi,” ujar dia.
Dengan semua hal tersebut dijalankan, lanjut Agus, maka pemerintah bisa memutuskan perihal kelanjutan proyek tersebut. “Baru setelah itu pemerinth abisa memutuskan untuk melanjutkannya atau tidak,” terang Agus.
Sementara itu, Agus juga menjelaskan, salah satu masalah utama dalam pembangunan HSR adalah masalah pembiayaan. Dia menilai menolak atau menunda HSR bukan berarti menentang kemajuan, tetapi perlu diperhatikan pula dampak sosial lebih lanjut serta besarnya biaya yang dikeluarkan.
Dia mengatakan, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang merupakan konsorsium empat BUMN Indonesia setidaknya perlu menyiapkan dana Rp 46,8 triliun yang merupakan 60% dari total proyek sebesar US$ 5,5 miliar. Sementara untuk setoran awal senilai Rp 280 miliar saja PT Wijaya Karya harus meminjam ke bank dengan bunga 11% per tahun. Sedangkan, PT KAI harus menunda beberapa pengembangan pelayanan karena harus menyetorkan modal awal senilai Rp 125 miliar.
Di tempat yang sama, Yayat mengkhawatirkan dari sisi tingkat keterisian HSR setiap harinya. Dari data yang didapatkanya, jumlah penumpang diperkirakan mencapai 60.000 penumpang per hari. Namun, dia meragukan hal itu karena potensi penumpang yang bersifat komuter untuk rute Jakarta-Bandung sangat kecil. Apalagi, dengan harga tiket yang bisa mencapai lebih dari Rp 200.000, penumpang komuter Jakarta-Bandung mempunyai potensi yang kecil.
“Berbeda dengan Jabodetabek yang memang antar kotanya mempunyai keterkaitan yang tinggi, Jakarta-Bandung untuk regularnya sangat kecil untuk penumpang komuternya,” papar Yayat.
Dia mengatakan, dengan kemungkinan minat yang kurang itu, maka pendapatannya dari PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) kemungkinan tidak lagi mengandalkan moda transportasinya tetapi kawasan perkotaan baru di sekitar stasiun. Akan tetapi, menurut dia, guna mengembangkan kota baru itu pun membutuhkan waktu yang lama, bisa mencapai 30 tahun.
Fahri Hamzah menilai, mega proyek yang melibatkan BUMN dan secara monopolis dikendalikan oleh Kementerian BUMN itu bukanlah proyek business to business semata. Dengan dilibatkannya BUMN, maka secara konstitusi telah masuk ke wilayah negara. Karena itu, rakyat berhak mengerti, mengkritisi, bahkan melawan jika itu merugikan kepentingan bangsa.
“Saya prihatin dengan semua ini dan saya mengimbau pemerintah mengkaji ulang kembali sekaligus mengembalikan visi poros maritim pada tempat sejatinya dalam pemerintahan. Bangunlah infrastruktur untuk daerah-daerah yang belum memiliki jalan setapak,” jelas dia.