Komisi VI Sebut Kereta Cepat Tidak Layak

Ketua Komisi VI DPR RI A. Hafisz Tohir mengungkapkan proyek kereta api cepat (KAC) Jakarta – Bandung belum pernah dibahas dengan Komisi VI DPR. Proyek KAC patut banyak mengandung masalah karena masih banyak hal yang belum beres, termasuk perizinan, amdal dan lain-lainnya.

Tapi aneh bin ajaib pemerintah memenangkan China dan menyingkirkan Jepang. Tiba-tiba pula Presiden Jokowi menerbitkan Perpres.

“Proyek KAC ini sudah muncul era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  tahun 2009. Namun karena tidak feasible, tak layak, maka PT Kereta Api Indonesia (KAI) menolak. Tapi, kini muncul lagi dengan alasan bisnis to bisnis (B to B)," papar Hafisz Tohir dalam diskusi publik ‘Stop Pembangunan KAC Jakarta – Bandung’ di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (2/2/2016).

"KAC melibatkan PTPN VIII yang menjaminkan puluhan ribu hektare tanah negara. Dengan memenangkan China, maka sama dengan menguntungkan China daratan dalam memperluas bisnisnya di Indonesia,” tegas Hafisz.

Hadir dalam acara diskusi kerjasama Korkesra DPR RI dan Iress (Indonesian Resourcess Studies) tersebut antara lain Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah (keynote Speaker), dan sebagai pembicara antara lain Marwan Batubara, Tjandra Wijaya,  Hatta Taliwang, Agus Pambagio, dan moderator Syahganda.

Menurut Hafisz, pada jalur KAC tersebut ada aset negara yang dilibatkan, tapi Menteri BUMN Rini Soemarno tak pernah membicrakan dengan DPR. Nantinya, utang proyek KAC dengan melibatkan 3 bank negara itu sendiri juga harus dibayar selama 40 tahun, tapi juga tak pernah dibicarakan dengan DPR.

“BUMN itu bertujuan untuk kemakmuran rakyat, namun dalam konsorsium ini lebih banyak dinikmati asing,” ujar politisi Partai Amanat Nasional itu.

Karena itu DPR meminta penempatan aset negara (BUMN) sekitar Rp 4.500 triliun itu harus dibicarakan dengan parlemen. Proyek itu kalau gagal, kata Hafisz, maka BUMN yang harus melunasi. Dengan demikian, maka Perpres itu berarti melanggar konstitusi, karena BUMN kita akan menjadi BUMN of China.

    Pinjaman luar negeri, kata Hafisz,  memang ada yang menjadi tanggung jawab swasta, tapi kalau gagal bayar, maka BUMN yang akan bertanggung jawab. “Jadi, jangan ulangi kasus 1998, dan pembayaran utang luar negeri itu harus mendapat persetujuan DPR,” tambahnya.


Dulu KAC di Beijing sendiri disebut dengan kecepatan 400 km/jam, lalu turun menjadi 300 km/jam, turun lagi menjadi 200 km/jam. Ketika ditanya kenapa turun? Mereka bilang keretanya terbang dan seluruh penumpang meninggal dunia. Tapi, karena negara komunis, maka kasus itu tidak diberitakan.

“Jadi, KAC Jakarta – Bandung itu tidak tepat, perlu dikaji ulang secara hukum, penjaminan dan kalau tidak feasible, tak layak, maka harus ditolak,” pungkas Hafisz.

Diposting 03-02-2016.

Dia dalam berita ini...

Achmad Hafisz Tohir

Anggota DPR-RI 2014
Sumatera Selatan I