Keputusan tentang pengurangan masa jabatan pimpinan DPD yang tidak diteken Ketua DPD Irman Gusman berujung panjang. Sejumlah anggota DPD menggulirkan mosi tidak percaya.
Seruan mosi tidak percaya disampaikan setelah rapat paripurna DPD di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (17/3/2016) ditutup mendadak oleh Irman Gusman. Sebelumnya, Irman menolak meneken Tatib yang berisi pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Sejumlah anggota yang kecewa dengan sikap Irman lalu maju ke depan ruang sidang. Setelah Irman dan Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad meninggalkan ruangan, mereka lalu menduduki kursi pimpinan.
Beberapa di antaranya adalah Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD AM Fatwa, mantan Ketua Pansus Tatib Asri Anas, dan anggota DPD dari Sulut Beni Ramdani. Mereka menegaskan akan menggulirkan mosi tidak percaya.
"Atas sikap ketua DPD dan pimpinan DPD, maka kami dengan sadar, 62 nama yang di awal mendukung tatib, akan ditindaklanjuti menjadi pernyataan mosi tidak percaya kepada pimpinan," kata Benny dari meja pimpinan sidang.
Mantan Ketua Pansus Tatib Asri Anas menjelaskan bahwa pansus sudah bekerja berdasarkan alur dan tidak melakukan pelanggaran. Hasil pansus pun diketok di paripurna dan diserahkan ke BK.
Ketua BK AM Fatwa mempertanyakan moral dan etika pimpinan DPD yang tidak meneken tatib tersebut. Sikap Irman yang mendadak menutup sidang paripurna sebelum AM Fatwa dinyatakan selesai melaporkan juga dianggap melanggar etika.
"Dalam keadaan seperti ini, belum selesai sudah ditutup, ini juga suatu pelanggaran etika dan moral," ucap senator dari DKI Jakarta ini.
Sebelumnya diberitakan, masa jabatan pimpinan DPD dipangkas dari awalnya 5 tahun menjadi 2,5 tahun lewat revisi tatib DPD. Revisi itu disetujui melalui voting saat paripurna luar biasa DPD pada 15 Januari 2016 lalu.
Tetapi, revisi tatib itu tidak kunjung diteken oleh pimpinan DPD dengan alasan aturan itu bertentangan dengan UU MD3. Badan Kehormatan DPD pun sempat memanggil pimpinan untuk meminta penjelasan.