Seandainya Blok Gas Masela dikembangkan dengan pola kilang gas terapung (floating liquefied natural gas/FLNG Plant) alias offshore, ternyata Indonesia berpotensi menghadapi kemungkinan masalah baru.
Pasalnya, aturan hitungan pajak untuk setiap gas yang disedot dan dijual, masih belum jelas. Maka pertanyaannya, bagaimana cara Indonesia mencegah sumber daya alam gas di Blok Masela diambil begitu saja tanpa hitungan pajak yang jelas?
Untuk diketahui, pengembangan offshore dengan FLNG itu sendiri akan berwujud sebuah kapal besar, yang panjangnya sekitar 400-490 meter, dengan lebar 60-80 meter, dan beratnya melebihi 500 ribu ton.
Kapal itu terapung di lautan di mana sumber gas berada. Produk LNG kemudian akan dijemput dengan Kapal LNG Carrier ke negara tujuan ekspor yang memiliki kilang offloading. Setidaknya kilang offloading LNG demikian ada di China, Thailand, Korea Selatan, dan Jepang.
Lalu bagaimana Indonesia memperoleh bagiannya? Tentu lewat bagi hasil keuntungan penjualan dan dari pajak penjualan produksi itu. Yang menjadi pertanyaan adalah perhitungan pajaknya dan bagaimana memastikan jumlah gas yang diproduksi dihitung sampai satuan yang terkecil.
Layaknya praktik perbankan offshore yang penuh rahasia, maka pertambangan offshore juga sama karena tak bisa diawasi 24 jam secara langsung oleh mata manusia.
Hal itupun diakui oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR, Syaikhul Islam Ali. Dia mengakui bahwa aturan perpajakan Indonesia terkait operasi pertambangan gas lepas pantai memang belum jelas.
"Instrumen pemerintah untuk mengontrol penerimaan negara sektor migas lemah sekali," kata Syaikhul Islam Ali, Senin (21/3).
Selama ini, SKK Migas yang diandalkan untuk memastikan maksimalnya perolehan negara dari sektor migas juga masih belum memadai.
Menurut Syaikhul, harus ada kepastian di dalam kontrak pengembangan Blok Masela, mengenai penerimaan bagi hasil, pajak, maupun sanksinya. Kontrak itu juga harus mengatur soal database yang harus dibuat terintegrasi dengan lifting.
"Persoalannya, lifting saja kita masih mengandalkan data kontraktor. Seharusnya data itu bukan hanya mengandalkan data kontraktor. Kalau data produksinya disunat, kan kecil juga hasilnya buat Indonesia," kata Syaikhul.
Sebenarnya, soal belum jelasnya aturan pajak Indonesia mengenai operasi FLNG itu sudah pernah juga diteliti oleh Konsultan Energi Wood Mackenzie di tahun 2008. Laporan itu menyebutkan bahwa proyek LNG konvensional, dengan kilang di darat, dikenakan pajak di hulu dan hilir.
"Namun, aturan tidak jelas bagaimana memperlakukan Kilang LNG terapung," demikian laporan itu.
Hitung-hitungan Wood Mackenzie akhirnya mengasumsikan Indonesia hanya akan mengenakan pajak di sektor hulu saja. Dengan asumsi itu, plus produksi Blok Masela diekspor 85 persen ke luar negeri; hanya 15 persen untuk kebutuhan dalam negeri Indonesia; cost recovery semaksimal mungkin; maka bagi operator Inpex dan Shell opsi FLNG dianggap yang terbaik.
Dengan skema FLNG alias offshore itu, Inpex dan Shell diprediksi bisa memperoleh keuntungan 13 persen, lebih tinggi keuntungannya dibandingkan bila Blok Masela dikembangkan secara onshore.
Perbandingan FLNG di Australia
Ketika lokasi kilang Masela di Indonesia masih menjadi perdebatan panas, Australia sudah lebih dahulu menyetujui proposal Shell, perusahaan asing asal Belanda, untuk mengelola Blok Prelude dengan metode FLNG.
Prelude adalah sebuah ladang gas di Cekungan Browse, sekitar 475 Kilometer utara-timur laut dari Broome, dan lebih dari 200 kilometer dari titik terdekat di Pantai Wilayah Kimberley, Australia Barat. Cadangan gasnya ditengarai masih kalah banyak dibanding Blok Masela yang hendak dikembangkan Inpex dan Shell.
Di Indonesia, opsi FLNG alias offshore banyak ditolak karena dianggap takkan memberi dampak apapun bagi pengembangan ekonomi warga Maluku, provinsi di mana Blok Masela berlokasi.
Lalu kenapa Australia menerima blok gas mereka dikembangkan dengan metode FLNG?
Australia sudah membuat perencanaan matang untuk memastikan bahwa kontrak FLNG itu benar-benar menghidupkan sektor ekonomi riil masyarakatnya. Berdasarkan penjelasan di situasi www.shell.com.au, dijelaskan bahwa Shell secara aktif berusaha untuk memanfaatkan rantai pasokan demi meningkatkan partisipasi dan kemampuan perusahaan Australia dan tenaga kerja dari Australia dalam operasinya.
Shell akan membutuhkan sekitar 200 tenaga kontrak untuk mendukung fasilitas FLNG Prelude untuk jangka waktu sekitar 25 tahun beroperasi. Dalam setahun, nilai kontrak itu bisa mencapai US$ 200 juta, dan sekitar 70 persen dari operasional FLNG Prelude dipastikan berkonten Australia. Shell menyediakan sebuah website khusus berisi proyek-proyeknya untuk setiap kontraktor Australia yang mau bekerja sama.
Shell berhitung, bahwa ada setidaknya 350 pekerjaan langsung dan 650 pekerjaan tidak langsung terkait FLNG Prelude buat warga Australia. Selain itu, Australia akan mendapatkan miliaran dolar untuk pendapatan pajak.
"Miliaran dolar lainnya yang dikeluarkan dalam bentuk modal dan biaya operasi akan dikeluarkan langsung di Australia," demikian tulis Shell dalam websitenya, Senin (21/3).
Selain kilang offshore, Shell juga mengembangkan layanan onshore yang dibangun di tiga wilayah di Australia, yakni di Broome, Darwin, dan Perth.
Di sisi pelatihan, Shell bersedia membangun kampusnya di Perth sebagai pusat pengembangan kemampuan operasional untuk teknologi FLNG.
Di Wilayah Kimberley, yang jarak terdekatnya 200 kilometer dari Kilang FLNG Prelude, Shell menginvestasikan uangnya untuk kepentingan sosial.
"Investasi sosial kami difokuskan kepada pendidikan, termasuk proyek yang mendorong ketertarikan masyarakat dalam bidang sains dan teknologi," demikian tulis website Shell.
Sayangnya, untuk Blok Masela di Indonesia, Inpex dan Shell belum ada proposal yang jelas seperti di Australia.
Satu yang mengemuka belakangan ini adalah adanya usul agar kontraktor menyediakan dana pembangunan Maluku sebesar US$ 5 miliar. Tapi tidakkah Inpex dan Shell berkeinginan juga mendirikan kampus teknologi dan sains di Maluku?
FLNG Melibatkan Banyak Negara
Untuk FLNG Prelude, Shell yang juga bekerja sama dengan Inpex memesan sebuah kapal besar yang dibangun di Geoje, Korea Selatan. Kapal FLNG itu dibangun dengan panjang 488 meter, lebar 74 meter, dan beratnya lebih dari 600 ribu ton. Korea Selatan mendapat kucuran rejeki karena ada setidaknya 5.000 pekerja yang setiap hari terserap untuk bekerja di fasilitas di Geoje yang dimiliki Samsung Heavy Industries.
Selain itu, pembangunan kapal juga mendapat pasokan komponen dari Spanyol.
Turret mooring system untuk FLNG Prelude dibangun di Dubai. Ketika akhirnya dirakit di Korsel, maka turret itu akan menjadi yang terbesar di duia dengan ketinggian mencapai 100 meter.
Untuk rig pengeboran dibuat oleh perusahaan asal Prancis, Noble Clyde Boudreaux. Prancis juga memperoleh pekerjaan pembangunan loading arm oleh sebuah perusahaan di Sens, Prancis.
Negara lain yang kecipratan proyek FLNG Prelude adalah Malaysia, yang menjadi lokasi pembangunan disain sistem subsea berbentuk pohon natal, manifold, dan peralatan kontrol.