Politikus Partai Gerindra Nizar Zahro mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam melaksanakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Anggota Komisi V DPR itu mengatakan, pembangunan kereta cepat itu harus sesuai dengan undang-undang tentang perkeretaapian. Oleh karena itu, dia meminta agar proyek itu ditunda.
Oleh karena itu, dia sepakat dengan pernyataan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa terjebak oleh Kementerian BUMN dengan proyek itu. Apalagi, hingga kini proyek kereta cepat itu masih menyisakan banyak persoalan.
"Sejak awal saya sudah katakan, itu harus sesuai dengan UU Perkeretaapian. Bahwa ada badan usaha yang akan melakukan proyek itu, tetapi ada 19 syarat yang harus dimiliki. Sesuai syarat itu, penandatanganan konsesi itu harus sesuai dengan aturan. Salah satu konsesi dapat hak 50 tahun. Ini harus diperhatikan. Enginering design harus yang diarahkan Kementerian Perhubungan. Lebar kereta cepat harus 4,5 meter, ya, harus diadakan 4,5 meter. Ketiga, yang menjadi kesulitan dalam pembangunan kereta cepat itu adalah masalah lahan. Belum dibebaskan semua," kata Nizar di Jakarta, Jumat (25/3).
Terkait dengan masalah lahan, kata Nizar, DPR telah memutuskan bahwa lahan Perhutani sebesar 65 hektare harus diganti dua kali lipat. Hal itu sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan UU. "Jadi, ini bukan domainnya menteri, tapi pemerintah dan DPR," ujarnya.
Nizar mengungkapkan, pihaknya sudah menyampaikan ke pemerintah kalau memang kereta cepat lebih banyak mudarat ketimbang keuntungannya. "Kalau dari segi ekonomi, sangat merugikan. Oleh karena itu, kami sarankan agar ditunda dulu. Dari dokumen yang ada di DPR, kajian yang dipakai campur baur antara Tiongkok dan Jepang," ungkapnya.
Oleh karena itu, Nizar sepakat dengan penyataan Yusril bahwa Menteri BUMN bisa menjebak Presiden Jokowi dalam proyek tersebut. "Ada benarnya Bang Yusril. Menteri itu pembantu presiden. Seharusnya dia menyampaikan apa saja risiko jangka pendek dan jangka panjangnya," katanya.
Dikatakan, kalau proyek tersebut gagal dampaknya sangat luar biasa bagi APBN mengingat dalam proyek tersebut bisa dikatakan pemerintah bisa dikatakan berutang dari Tiongkok. Pemerintah, sebagaimana tertuang dalam perpres yang baru, memberikan jaminan. "Kalau di perpres yang lama memang tidak ada jaminan pemerintah. Tetapi, kalau perpres yang baru, kalau ini gagal akan terpengaruh asumsi APBN," jelasnya.