Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kebidanan akan mensinkronkan dengan UU Kedokteran, UU Kesehatan, UU Keperawatan. RUU ini juga akan mengatur Majelis Kebidanan Indonesia.
“Pengaturan ini diperlukan agar tidak terjadi jual beli sertifikat, lisensi kebidanan dan sebagainya,” kata Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi NasDem Irma Suryani saat diskusi forum legislasi ‘RUU Kebidanan’ di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (7/6).
Diskusi ini juga menampilkan dua pembicara yakni Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Emi Nurjasmi dan mantan Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohamad.
Menurut Irman, jumlah bidan yang besar tersebut ternyata masih terdapat permasalahan terutama menyangkut distribusi. Sebab masih ada daerah-daerah yang kekurangan bidan. Khususnya di daerah-daerah luar Jawa. Di antaranya NTT, NTB, Papua, Maluku, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Emi Nurjasmi mengatakan lebih dari 80 ribu bidan sudah bekerja di seluruh Indonesia. Mereka itu perlu dibekali aturan, perlindungan, keamanan, kenyamanan, keselamatan, pendidikan, keterampilan, dan dukungan dengan kepastian kebijakan UU ini. Mengingat 87 persen ibu hamil melahirkan di bidan, dan masih banyak yang meninggal dunia. Apalagi, 20 persen daerah masih belum ada bidan.
Selain itu, kata Emi, bidan juga perlu pengembangan diri dan keilmuwan untuk pekerjaannya yang dinamis. Sebab, keberadaan bidan itu berdampak langsung kepada masyarakat.
“Keunikannya adalah bidan itu melayani ibu dan anak sejak kehamilan 27 hari sampai kelahiran dan sampai Balita,” ungkapnya.
IDI mendukung UU Kebidanan ini. Mantan Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohamad mengingatkan untuk memberi perhatian pada peranan IBI sebagai organisasi profesi bidan. “Apa kriteria seorang bidan, kompetensi seperti apa, dan wewenangnya apa saja yang harus dimiliki, juga perlunya pengawasan,” katanya.
Hal itu penting, karena jika terjadi mal praktek, maka akan berurusan dengan hukum. Sebab, antara etika dan mall praktek itu berbeda. Yang disebut mal praktek itu jika terbukti dokter atau bidan lalai, atau atas ketidaktahuannya dalam menangani pasien. “Tapi, semua itu harus diproses secara hukum,” katanya.
Menurut Kartono, boleh saja bercita-cita tinggi, tapi harus bisa direalisasikan. Seperti halnya mengeluarkan resep dokter, yang namanya bidan itu memang tidak boleh mengeluarkan resep obat, karena itu melanggar UU.
“Toh, 80 persen ibu melahirkan itu secara normal, sehingga tidak semua membutuhkan persalinan melalui dokter atau bidan,” pungkasnya.