Pengadilan Arbitrase Internasional yang berbasis di Den Haag, Belanda, Selasa (12/7/2016), memutuskan China telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut China Selatan.
Putusan itu, menurut Wakil Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid, juga menguntungkan Indonesia.
Karena putusan Majelis Arbitrase makin memperjelas keberadaan wilayah NKRI.
Dan tidak berlakunya keberadaan 9 dashed line yang selama ini menjadi senjata China mengklaim perairan Natuna.
"Pemerintah RI tentu dapat berpegangan terhadap putusan tersebut. Demikian juga Tiongkok. Putusan ini seyogyanya dapat memperjelas keberadaan wilayah NKRI dan keberadaan 9 dashed line tidak berlaku," tegas Politikus Golkar ini ketika dihubungi Tribun, Kamis (14/7/2016).
Dengan bersandar pada putusan tersebut juga menurutnya, tidak ada halangan lagi bagi pemerintah berlaku tegas terhadap negara manapun yang melanggar wilayah kedaulatan NKRI.
Termasuk China yang beberapa kali mencaplok perairan Natuna dan Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia.
China melalui kapal-kapal nelayan Tiongkok yang tertangkap melakukan illegal fishing.
"Tidak perlu ada keraguan, tidak perlu ada ketakutan, membela wilayah perairan kita, terhadap negara manapun," ujarnya.
Sebagai sahabat Indonesia dapat mengingatkan China bahwa hukum internasional perlu dihormati, yakni klaim China mengenai 9 dash line (9 garis putus) dipatahkan oleh putusan tersebut.
Pengadilan Arbitrase Internasional yang berbasis di Den Haag, Belanda, Selasa (12/7/2016), memutuskan, China telah melanggar kedautalan Filipina di Laut China Selatan.
"China telah melanggar hak kedaulatan Filipina di zona ekonomi eksklusifnya dengan cara melakukan penangkapan ikan dan eksplorasi minyak, membangun pulau buatan dan tidak melarang para nelayan China bekerja di zona tersebut," demikian pernyataan Pengadilan Arbitrase Internasional.
Filipina sebelumnya membawa masalah sengketa wilayah Laut China Selatan ke pengadilan internasional.
Pemerintah Filipina menentang apa yang disebut China sebagai "sembilan garis batas" yang intinya mengklaim semua kawasan Laut China Selatan sebagai wilayah China.
Sengketa antara Filipina dan China itu terfokus pada perairan yang diperkirakan menjadi jalur perdagangan internasional yang bernilai 5 triliun dolar AS setiap tahunnya.
Pemerintah Filipina juga meminta pengadilan arbitrase untuk memperjelas gugusan karang atau kepulauan di perairan itu yang masuk ke dalam zona ekonomi eksklusif Filipina.
Pengadilan memutuskan, meski para pelaut dan nelayan China secara historis pernah menggunakan berbagai pulau di Laut China Selatan, tak terdapat bukti kuat bahwa secara historis China pernah menguasai perairan tersebut atau sumber alamnya.
"Pengadilan memutuskan bahwa tak ada dasar hukum apapun bagi China untuk mengklaim hak historis terkait sumber daya alam di lautan yang disebut masuk ke dalam 'sembilan garis batas'," demikian pernyataan pengadilan.