Mahkamah Arbitrase (PCA) memenangkan gugatan Filipina atas China di Laut China Selatan (LCS). PCA di Den Haag yang didukung PBB itu menyebut China tak memiliki hak terkait klaim imajiner soal 9 dash line (9 garis putus).
"Saya menyambut baik putusan Permanent Court of Arbitration mengenai gugatan Filipina atas Tiongkok di LCS. Putusan tersebut akhirnya memberikan kepastian hukum mengenai batas wilayah teritorial laut negara-negara di kawasan Laut Cina Selatan," ungkap anggota Komisi I Charles Honoris kepada wartawan, Kamis (14/7/2016).
Putusan dikeluarkan dengan dasar hukum laut internasional. Juga atas pertimbangan perjanjian UNCLOS (United Nations Convention on the Law of The Sewa) tahun 1982 yang sudah diratifikasi oleh negara-negara di kawasan termasuk China dan Filipina.
Keputusan Mahkamah Arbitrase dinilai akan menjadi sumber hukum internasional terhadap klaim historis China atas perairan Indonesia di kawasan Natuna. Sehingga secara tidak langsung, putusan tersebut dapat memperkuat posisi Indonesia jika terkait sengketa LCS itu.
Hal tersebut tentu saja penting, sebab walaupun China dan Indonesia selalu menyatakan tidak ada masalah perbatasan perairan, tetapi insiden penangkapan kapal-kapal nelayan ilegal China oleh TNI baru-baru ini di perairan Kepulauan Natuna, membuktikan masalah itu nyata.
"Putusan tersebut juga memperkuat Klaim Indonesia atas perairan Natuna dan Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia yang berkali-kali dilanggar oleh kapal-kapal nelayan Tiongkok yang tertangkap melakukan illegal fishing. Klaim imajiner Tiongkok mengenai 9 dash line akhirnya dipatahkan oleh putusan itu," jelas anggota Fraksi PDIP ini.
Mengingat hal tersebut, Charles pun mendorong agar pemerintah Indonesa memprakarsai agar negara-negara ASEAN memiliki pandangan dan sikap yang sama mengenai batas wilayah laut di kawasan. Dengan begitu, maka status Natuna dapat memiliki kekuatan hukum internasional yang disepakati bersama.
"Misalnya dengan memprakarsai sebuah joint statement dari negara-negara ASEAN yang memberikan pengakuan atas putusan tersebut. Kesamaan sikap antara negara-negara ASEAN mengenai hal ini tentunya akan bisa memberikan tekanan terhadap China untuk mematuhi putusan Mahkamah," ujar Charles.
"Bagi China, ASEAN adalah salah satu mitra dagang yang sangat strategis. Kalau ASEAN dapat bersatu, China akan berpikir dua kali sebelum mengambil tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi ketegangan di kawasan," lanjut dia.
Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda pada hari Selasa (12/7) memenangkan gugatan yang diajukan Filipina. Disebutkan bahwa klaim historis China di Laut China Selatan tak memiliki landasan hukum dan mahkamah juga menyatakan bahwa reklamasi pulau yang dilakukan China di perairan ini tidak memberi hak apa pun kepada pemerintah China.