Investasi dan pemberian utang besar China ke banyak negara di Asia, Afrika dan Eropa akhir-akhir diyakini sebagai bagian dari rencana besar negeri tirai bambu tersebut untuk menjadikan negara-negara di tiga kawasan itu sebagai pasar, lapangan pekerjaan dan koloni.
"Disadari atau tidak, kita sudah merasakan itu. Neraca perdagangan mereka dengan kita selalu surplus, sementara posisi kita tidak pernah beranjak dari minus," kata anggota Komisi 1 DPR dari Fraksi Partai Golkar, Tantowi Yahya, dalam keterangan beberapa saat lalu (Senin, 18/7).
Menurut Tantowi, beragam persyaratan non-tarif mereka terapkan di berbagai produk andalan Indonesia dalam rangka menjaga neraca perdagangan yang pincang buat Indonesia. Sementara di sisi lain, produk mereka melenggang bebas di Indonesia. Dan sudah bukan rahasia umum, Indonesia kebanjiran tenaga kerja tidak terampil uuntuk diperkerjakan di berbagai proyek yang mereka biayai. Influx tenaga kerja dalam jumlah besar bisa ini tentu saja berimplikasi pada keamanan negara.
"Siapa yang bisa menjamin, di tengah lemahnya sistem pengawasan kita, setelah selesainya proyek-proyek tersebut, mereka akan kembali ke negaranya? Pernahkah kita berpikir sebagai unskilled worker, gaji atau upah mereka logisnya tentu tidak besar pula. Lantas mengapa mereka mau meninggalkan negaranya jauh-jauh untuk upah yang kecil? Bahwa tujuan mereka kesini bukan semata untuk bekerja, bisa-bisa saja kan?" jelas Tantowi.
"Kemarin dan hari ini kita dihebohkan oleh berita di dalam tiang-tiang pancang yang kita impor dari China untuk keperluan proyek-proyek mereka disini, disusupi narkoba dalam jumlah besar. Tidak pernah dibayangkan oleh BNN, bahwa bahan keperluan bangunan untuk proyek-proyek yang kita butuhkan dijadikan carrier barang-barang terlarang. The other side of aid," sambung Tantowi lagi.
Tantowi yakin, hal ini juga akan berdampang pada bidang lainnya, seperti bidang hubungan luar negeri. Ia merasakan betul kegalauan pemerintah dalam bersikap kepada China terkait Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang mengabulkan gugatan Filipina dan tidak memenangkan klaim China dalam sengketa Laut China Selatan.
"Kita memang sudah mengeluarkan pernyataan namun masyarakat menilai kita terlalu soft. Sikap China yang ngotot tidak akan mematuhi putusan Pengadilan yang melandaskan putusannya pada Unclos 1982, konvensi hukum laut yang juga mereka tandatangani semestinya disikapi dengan lebih tegas namun tetap dalam tone yang tidak berpotensi merusak hubungan baik yang sudah terbina," ungkap Tantowi.
Tantowi memastikan klaim China tidak mempunyai dasar yang kuat. Wajar dan memang seharusnya PCA memenangkan gugatan Filipina.
"Sebagai salah satu negara yang mengikatkan diri pada konvensi tersebut, pemerintah kita tentu memahaminya. Mengapa kita tidak bisa lebih tegas, tentu bisa pula kita pahami. Tidak ada makan siang gratis," demikian Tantowi.