Komisi VIII DPR akhirnya sepakat mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dibahas dalam sidang paripurna.
Kendati begitu, menyoal aturan turunan Perppu semisal eksekutor kebiri, pemerintah perlu segera mencari jalan keluarnya sembari tetap berkoordinasi dengan DPR. Hal ini mengingat penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi eksekutor kebiri.
"Secara umum, substansinya, pokok-pokoknya sudah memenuhi aspek legalitas meski dalam pembahasannya, anggota dewan memberi pandangan agar peraturan turunan sesuai hirarki perundang-undangan sesuai aspek sosiobiologis historis," ujar Ketua Komisi VIII DPR, Ali Taher Parasong, seusai Rapat Koordinasi dengan pihak Pemerintah di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (26/7/2016).
"Misalnya kebiri, IDI kan menyatakan tidak akan menjadi eksekutor. Tetapi negara perlu kepastian karena harus ada eksekutor. Setelah diundangkan, kita harap koordinasi di pemerintah akan membicarakan aspek turunan," imbuh dia.
Ali mengatakan, melalui rapat di Badan Musyawarah akan diputuskan Perppu Perlindungan Anak akan diajukan di pada masa sidang paripurna saat ini atau mendatang.
"Setelah rapat pengesahan ini, kita akan rapat di Badan Musyawarah (Bamus) untuk mengagendakan kapan penetapan apakah di sidang paripurna sekarang atau di paripurna masa sidang yang akan datang," kata Ali.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara.
Di dalamnya juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas pelaku ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.