DALAM politik ada adagium, tidak ada makan siang gratis. Hal itu kembali tergambar ketika Presiden Joko Widodo merombak kabinetnya pekan lalu.
Presiden memasukkan kader Golkar dan PAN di kursi kabinet. Kader Golkar Airlangga Hartarto diangkat sebagai menteri perindustrian.
Adapun Asman Abnur menjadi sebagai menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi.
PAN dan Golkar sejatinya sejak awal pemerintahan memilih jalur oposisi. Belakangan, mereka mengubah haluan dengan menyatakan dukungan mereka kepada pemerintah.
Sebelum mengocok ulang kabinetnya, Jokowi juga berulang kali bertemu dengan sejumlah petinggi parpol koalisi, sebut saja Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum NasDem Surya Paloh, Ketua Umum Hanura Wiranto, dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Tiga nama terakhir ialah ketua umum partai yang kadernya digeser dari Kabinet Kerja.
Direktur Eksekutif Poltracking Institute Hanta Yuda mengatakan politik akomodatif sangat kentara pada pergantian kabinet kali ini. Meski saat kampanye Jokowi menegaskan tidak akan bagi-bagi kursi kekuasaan, konsolidasi, dan akomodasi, itu sudah terlihat sejak Jokowi pertama kali menyusun Kabinet Kerja.
Partai pendukung pemerintah masing-masing diberikan kursi di barisan eksekutif. Total dari 34 kementerian, terdapat 16 kursi menteri yang diberikan ke elite asal partai politik pendukung. Saat perombakan kabinet jilid pertama, pada Agustus 2015, menteri asal partai bertambah satu dengan dimasukkannya politisi PDIP Pramono Anung sebagai Sekretaris Kabinet menggantikan Andi Widjajanto.
Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung Muradi menambahkan komunikasi politik dengan parpol pendukung yang dibangun Presiden ketika merombak kabinet ialah keniscayaan. Pasalnya, Jokowi bukan hanya berhadapan dengan kekuatan oposisi yang dominan di DPR, melainkan juga tekanan yang mengimpit dari koalisi pendukungnya sendiri.
Oleh karena itu, Jokowi tak punya banyak pilihan. Kehadiran Golkar dengan kekuatan 91 kursi di DPR mampu digunakan Jokowi untuk mengurangi dominasi PDIP sehingga dia punya ruang manuver yang lebih leluasa untuk menjalankan agendanya agar sesuai dengan ekspektasi masyarakat.
"Penekan komunikasi politik yang efektif tersebut juga bersandar pada penguatan komunikasi politik lewat mekanisme yang bersandar pada penguatan kepercayaan, bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan," ujar Muradi.
Muradi berharap Jokowi tak perlu tergoda lagi menambah armada baru koalisi. Koalisi yang terlalu besar justru membuat langkah Jokowi kurang lincah karena harus menegosiasikan setiap kebijakan yang mau diambil kepada partai pendukung yang makin banyak.
"Jokowi cukup melakukan pengawasan dan kontrol langsung, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan program prioritas yang menjadi pijakan evaluasi. Untuk menghindari turbulensi politik, tak boleh ada lagi perombakan kabinet."
Komunikasi baik
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi mengatakan komunikasi Presiden dengan partai politik terbilang cukup baik.
"Presiden Jokowi itu selalu ingin mendengar. Bahkan, kerap kali mengundang DPR dan partai politik di parlemen untuk rapat konsultasi bersama Presiden," ujar Johan.
Menurut Johan, Presiden memiliki sikap terbuka untuk berkomunikasi dengan semua partai politik. Adapun rapat konsultasi sebelumnya telah dilakukan Presiden bersama dengan DPR dan partai politik di parlemen, guna membahas RUU KPK dan RUU Tax Amnesty.
Rapat tersebut guna menyatukan pandangan antara pemerintah dan partai politik. Tak terlepas juga kerap kali Presiden hadir di sejumlah acara partai politik.
Terkait dengan revisi UU Pemilu, Johan mengatakan pihak istana belum membahas lebih jauh revisi UU Pemilu yang di dalamnya memuat soal sistem Pemilu 2019 mendatang.
Terkait dengan soal ini, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengaku tetap mendengar masukan dari partai politik terhadap RUU Pemilu yang saat ini masih dibahas di tingkat pemerintah. "Saat ini RUU Pemilu masih digodok di pemerintah. Masih perlu diputuskan di kabinet," ujarnya.
Tjahjo menjelaskan RUU Pemilu harus dapat menjaga kedaulatan partai politik dan rakyat secara bersamaan. Selain itu, beleid baru juga mempertimbangkan seluruh usulan, baik sistem proporsional tertutup maupun terbuka dalam pemilu serentak nantinya. (Pol/Nov/P-2)