Anggota Tim Pengawas Tenaga Kerja Indonesia (Panwas-TKI) DPR Rieke Diah Pitaloka mengapresiasi sikap Presiden Filipina Rodrigo Duterte, dalam memperjuangkan warga negaranya, Mary Jane dari eksekusi mati atas kejahatan narkoba di Indonesia.
Duterte saat ini sedang melakukan kunjungan ke Jakarta dengan salah satu agenda membahas pembebasan Mary Jane dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Banyak yang menganggap ada "barter" antara Mary Jane dengan ratusan calon jemaah haji Indonesia yang menggunakan dokumen Filipina secara ilegal.
"Yang menarik bagi saya bukan persoalan barter. Saya mengapresiasi sikap Duterte yang berjuang keras menyelamatkan nyawa satu orang rakyatnya. Saya mendukung Duterte, jika terbukti Mary Jane memang hanya korban perdagangan narkotika internasional, #BebaskanMaryJane," tulis Rieke dalam siaran persnya, Jumat (9/9).
Politikus PDI Perjuangan itu menilai jika Mary Jane, yang ditangkap tahun 2010 karena membawa tas yang berisi heroin seberat 2,6, kemudian divonis mati oleh pengadilan, terindikasi kuat hanya sebagai korban jejaring kejahatan narkotika internasional.
Hal itu pula menurutnya yang dialami Rita Krisdianti (27). TKI asal Ponorogo, Jawa Timur, yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga itu ditangkap saat transit di Malaysia pada Mei 2013, karena terbukti membawa 4 kg sabu.
"Terindikasi kuat Rita mengalami hal yang sama seperti Mary Jane. Rita hanya korban perdagangan narkotika internasional. Saat ini Rita telah divonis mati oleh Mahkamah Tinggi Penang, Malaysia. Selain Rita, 235 TKI juga masih terancam hukuman mati di luar negeri," ujar Anggota Komisi VI DPR itu.
Bila Duterte didukung rakyat Filipina untuk berjuang membebaskan Mary Jane. Rieke meyakini tidak hanya Ia yang mendukung Jokowi. Seluruh rakyat Indonesia menurutnya pasti akan memberi dukungan kepada Jokowi untuk melakukan lobi tingkat tinggi pada Pemerintah Malaysia, agar membebaskan Rita dari vonis mati.
Karena itu, kata Rieke, Duterte dan Jokowi akan memberikan pelajaran berharga menyelasaikan kasus narkotika, terutama dalam memberikan vonis mati tidak akan mengeneralisir, harus jelas siapa korban, siapa perlaku.
"Jika seseorang terindikasi kuat hanya sebagai korban dalam kasus narkotika, tentu hukuman mati yang diterimanya justru membuktikan vonis tersebut tidak berperikemanusiaan," pungkas Ketua Pansus Pelindo II itu.