Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid menegaskan partainya menolak usulan pemerintah bahwa hasil pemilu legislatif 2014 lalu digunakan untuk mengusung calon presiden di pemilu 2019.
Ia menganggap usulan tersebut tidak adil dan tidak berpihak pada partai baru yang tak ikut pemilu 2014 lalu.
"Partai baru kan belum ikut pemilu 2014, bagaimana ambang batas diterapkan? Padahal mungkin saja nanti mereka mendapat hasil yang baik. Usulan itu tidak adil, tidak memenuhi kedaulatan rakyat dan kedaulatan partai," kata Hidayat saat dihubungi Kompas.com, Rabu (14/9/2016).
Hidayat menegaskan penolakan ini bukan disebabkan karena partainya yang tidak mendapatkan suara signifikan pada pemilu legislatif 2014 lalu.
Saat itu, PKS hanya mendapatkan 6,79 persen suara sah nasional.
"Ini bukan hanya masalah PKS. Kita lagi buat UU harus sesuai dengan prinsip UU diatasnya yaitu UUD 1945. UUD mengatur presiden dan wapres diajukan parpol atau gabungan parpol," ucap Hidayat.
Agar memenuhi keadilan dan tak bertentangan dengan UUD, Hidayat mengusulkan bahwa semua parpol yang maju dalam pileg 2019, juga bisa mengikuti pilpres.
Apalagi pileg dan pilpres akan digelar secara serentak. "Harusnya semua partai yang lolos jadi peserta pemilu berhak mengusung calon presiden," ucapnya.
Pemerintah mengusulkan hasil Pemilihan Legislatif 2014 digunakan untuk mengusung calon presiden pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang.
Hasil Pileg 2014 digunakan karena pada 2019 pemilihan legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, hasil Pileg 2019 tidak bisa digunakan untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Jadi penentuan pemilihan presiden, kami mengusulkan sesuai dengan hasil (pileg) yang lama," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, seusai rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (13/9/2016).
Terkait angkanya, lanjut Tjahjo, tetap berpegang pada Undang-Undang Pemilihan Presiden yang lama.
UU Nomor 42 Tahun 2008 mengatur, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Tjahjo mengatakan, aturan mengenai hal ini akan dirumuskan dalam draf revisi UU Pemilu yang diusulkan pemerintah dan akan segera diserahkan ke DPR untuk pembahasan lebih lanjut.