Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKB Alamuddin Dimyati Rois dalam persidangan kasus dugaan suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan terdakwa Amran HI Mustary di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (18/1/2017).
Jaksa KPK bertanya soal jual-beli program aspirasi dengan Amran selaku Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional IX Maluku dan Maluku Utara.
Namun Alamuddin membantah soal ada pembicaraan soal proyek.
Padahal, pihak Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukan sebuah pesan singkat antara Alamuddin dengan mantan anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putranti.
Jaksa menunjukan pada tanggal 29 Desember, Alamuddin mengirim sms ke Damayanti soal jual-beli dana program aspirasi untuk membiayai proyek pembangunan jalan di Maluku.
"Ada percakapan saudara dengan Damayanti tanggal 29 Desember di BAP nomor 41," kata Jaksa KPPK.
"Sing nan PU piye sidane? (yang di PU bagaimana jadinya)," tanya Jaksa kepada Alamuddin.
Dirinya pun menjawab, lupa pernah mengirim sms tersebut.
"Saya lupa yang sms saya atau Damayanti," kata Alamuddin.
Padahal sebelumnya, Alamuddin mengakui, pernah ikut dalam pertemuan di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan.
Saat itu, ia bersama dengan Damayanti, Amran, anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto serta anggota Komisi V dari Fraksi PKB Fathan Subchi dan dua staf Damayanti, yakni Julia Prasetyarini dan Dessy A Edwin menggelar pertemuan yang membahas jual-beli program aspirasi untuk pembangunan jalan di Maluku.
Namun, Alamuddin berkelit tidak tahu apa yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut.
"Terus terang tidak ngobrol sama sekali karena beda meja dengan terdakwa (Amran) dan ada live music," katanya.
Dirinya mengaku, duduk terpisah dengan Amran dan Damayanti.
"Saya waktu itu satu meja dengan Uwi dan Dessy kan meja berurutan tidak sebaris," jelasnya.
Dirinya juga menyebutkan, hanya sekali ketemu di hotel Ambhara. "Hanya sekali," tuturnya.
Jaksa pun mengingatkan, bahwa Alamuddin bersaksi dibawah sumpah.
"Tahu konsekuensi sumpah itu," kata Jaksa.
Namun, Alamuddin tetap bersikukuh pada jawabnya.
Damayanti sendiri pernah menyebutkan, jika keterangan Alamuddin tersebut bohong. Sebab, pertemuan di Ambhara yang dihadiri Alamuddin terjadi beberapa kali. Selain itu, dalam setiap pertemuan juga dibahas program aspirasi, termasuk yang diusulkan oleh Alamuddin.
"Pertemuan di Ambhara tidak hanya satu kali, CCTV tidak bisa bohong. Posisi duduk juga tidak jauh, Alamuddin duduk di depan saya, tidak ada live music, tidak mungkin tidak mendengar (percakapan)," kata Damayanti.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, baik Alamuddin dan Fathan memang tidak mendapatkan uang dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir. Yakni, salah satu pengusaha yang diminta oleh Amran untuk membayar komitmen fee kepada anggota Dewan.
Pasalnya, semua dana program aspirasi diserahkan kepada Musa Zainuddin yang merupakan kepala Poksi Fraksi PKB di Komisi V DPR RI.
Damayanti sendiri sudah dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (27/9/2016).