Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyarankan DPR agar menempuh langkah kontitusional, jika keberatan dengan sikap KPK mencekal Ketua DPR Setya Novanto. Bukan malah protes dan menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Sebagai Ketua DPR, sepantasnya Novanto melakukan perlawanan secara sah dan konstitusional dengan jalur hukum. Bukan DPR melakukan protes ke Presiden. KPK adalah lembaga independen yang bukan bawahan Presiden," kata Yusril dalam keterangan persnya, Rabu (12/4/2017).
Langkah konstitusional yang disarankan Yusril adalah mengajukan uji materiil pencekalan saksi KPK ke Mahkamah Konstitusi atau melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dasar hukum Surat Keputusan (SK) KPK soal pencekalan itu.
"Kalau Novanto keberatan dicekal oleh KPK sedangkan statusnya baru sebagai saksi, maka dia bisa mengajukan uji materil ke MK, untuk membatalkan pasal dalam UU KPK yang membolehkan mencekal seseorang yang baru berstatus saksi," ucap dia.
"Cara lain, karena pencekalan dilakukan KPK dengan Surat Keputusan, maka Novanto bisa menggugat KPK ke Pengadilan TUN untuk menguji apakah keputusan cekal itu beralasan hukum atau tidak," sambung Yusril.
Yusril mengingatkan para anggota dewan yang melayangkan protes, bahwa kewenangan KPK mencekal seseorang yang berstatus saksi, disahkan DPR dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Sebenarnya DPR tidak perlu protes. Karena kewenangan KPK mencekal seseorang yang masih dalam status sebagai saksi, adalah sesuatu yang diberikan oleh UU yang ikut dibuat oleh DPR dengan Presiden," ucap dia.
Sebelumnya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan DPR memutuskan untuk mengirim nota keberatan kepada Presiden Joko Widodo. Pencekalan terhadap Novanto dianggap akan mengganggu kinerja.
"Di rapur (rapat paripurna) banyak yang menanyakan pencekalan terhadap Ketua DPR. Kita sangat aktif menyelenggarakan rapat. Termasuk bahas situasi yang ada dan membahas surat, salah satunya semacam nota keberatan Fraksi Golkar," ujar Fahri saat jumpa pers di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/4/2017).