Anggota Komisi XI DPR Donny Imam Priambodo mempertanyakan dasar kebijakan pemerintah menetapkan batasan saldo rekening nasabah yang bisa diaudit Ditjen Pajak.
Awalnya pemerintah menetapkan batas minimalnya Rp 200 juta, kemudian menjadi Rp 1 Miliar.
"Ini yang kami pertanyakan, dasarnya apa membuat kebijakan tersebut," ujar dia di Jakarta, Senin (19/6/2017).
Menjadi aneh, lanjut dia, dimana pemerintah beberapa waktu lalu sudah menentukan besaran saldo rekening nasabah yang bisa diaudit, yakni Rp 200 juta, namun kemudian direvisi dan naik menjadi Rp 1 miliar.
"Lho, mustinya kan ada kajian yang mendalam, bukan asal ubah saja," tambahnya.
Jadi, kata anggota Fraksi Partai Nasdem, pemerintah perlu menjelaskan ke publik secara gamblang, apa saja dasar perubahan batas saldo rekening kena audit.
"Kami tidak keberatan, selama itu tidak menimbulkan gejolak dan jadi kontra produktif," katanya.
Padahal, lanjut Legislator dari Jateng III, lahirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 70 tahun 2017 itu guna mengakomodasi Automated Exchange of Information (AeOI) di bidang perpajakan.
"PMK itu mestinya berlaku untuk WNA (warga negara asing) yang berada di Indonesia. OECD juga besarannya USD 250,000," terang dia lagi.
Diketahui, pemerintah membuat batasan jumlah saldo yang wajib dilaporkan bank ke Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Aturan itu termuat di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Menteri Keungan Sri Mulyani menuturkan, PMK nomor 70 tahun 2017 adalah aturan teknis dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1 Nomor 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Melalui aturan itu Ditjen Pajak memiliki kewenangan mengintip rekening nasabah. Tidak cuma data perbankan, data sektor perasuransian dan perkoperasian juga wajib dilaporkan.