Salah satu janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah berupaya mewujudkan kedaulatan energi. Namun, hal itu belum sepenuhnya terealisasi. Adanya bongkar pasang kabinet di sektor ini menunjukkan belum ada terobosoan signifikan dalam hal ketahanan energi.
Demikian disampaikan anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih dalam keterangan persnya, Sabtu (29/7/2017).
"Soal BBM misalnya. Kebutuhan konsumsi BBM di Tanah Air yang diproyeksikan akan terus mengalami kenaikan rata-rata 8 persen per tahun juga belum tampak mendapatkan perhatian serius dalam kebijakan. Yang dilakukan hanya sebatas hal-hal normatif untuk menjaga keamanan konsumsi BBM tanpa kebijakan yang menyentuh subtansi masalah," ungkapnya.
Masalahnya, lanjut Eni, ada persoalan serius dalam soal energi, khususnya BBM. Di mana saat ini konsumsi BBM nasional sekitar 1,6 juta barrel per hari. Sementara kemampuan memproduksi BBM hanya sekitar 800.000 barel per hari sehingga sisanya didapat dari impor.
Dengan kebutuhan BBM yang terus mengalami peningkatan rata-rata 8 persen pertahun, maka diproyeksikan total kebutuhan BBM nasional pada tahun 2025 akan mencapai 2,6 juta barrel per hari.
"Dalam kondisi seperti itu, maka satu hal yang harus menjadi keharusan adalah pembangunan kilang-kilang minyak. Ini adalah langkah strategis yang saya kira harus dilakukan pemerintah bersama Pertamina. Dengan pembangunan kilang minyak baru, Pertamina diharapkan dapat memproduksi BBM menjadi 2 juta barrel perhari pada selambat-lambatnya 2025. Dengan kebijakan ini, pada masa mendatang Indonesia tak perlu lagi impor BBM, tetapi cukup minyak mentahnya saja," tegasnya.
Dengan demikian, sebut Eni, pembangunan kilang minyak merupakan langkah tepat demi menjaga pasokan BBM. Pembangunan kilang minyak juga menurutnya dapat menghemat pengeluaran negara dari sector ini.
"Saat ini, dengan kekurangan BBM 800 ribu per barrel per hari dan dengan demikian harus melakukan impor, dana yang dibutuhkan untuk impor adalah sebesar USD 150 juta pers hari atau senilai 1,95 triliun rupiah pers hari. Ini tentu jumlah yang sangat besar. Persoalan impor BBM ini juga lah yang juga sangat rawan dimanfaatkan para mafia di sektor ini. Dan ini saya kira bukan rahasia lagi," jelasnya.
Pembangun kilang minyak katanya harus menjadi agenda mendesak yang harus segera dilakukan pemerintah bersama Pertamina sebagai satu-satunya BUMN yang bertanggungjawab dalam hal pengadaan energi.
Selain untuk mengatasi persoalan impor BBM, pilihan kebijakan pembangunan kilang minyak menjadi mendesak karena hampir sebagian besar kilang minyak yang ada di Indonesia umurnya sudah 30 tahun dan hanya mampu mengolah minyak mentah menjadi produk BBM hanya sekitar 800 ribu per barrel per hari.
Karena itu, tambah Eni Maulani, berbicara soal ketahanan energi, khsusnya ketersediaan pasokan BMM, tapi mengabaikan pembangunan kilang minyak adalah omong kosong dan hanya ilusi belaka.
Selama puluhan tahun progres pembangunan kilang stagnan dan hanya berhenti pada rencana-rencana belaka. Sejak lama Pertamina mendengunkan komitmennya menaikkan kapasitas kilangnya melalui berbagai rencana pembangunan kilang minyak. Tapi selama itu pula ia tak pernah diwujudkan.
"Nah paada pemerintahan Jokowi ini saya kira harus menjadi momentum yang tepat untuk membenahi seluruh sektor energi, terutama soal BBM, melalui salah satunya pembangunan kilang-kilang minyak baru. Dalam catatan saya, di era Jokowi ini sudah banyak regulasi yang dikeluarkan, tapi tak pernah eksekusi di tingkat bawah. Tepatnya tak ada ketaatan di tingkat pemangku kebijakan untuk melaksanakan instruksi. Perpres Nomor 146/2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri saya kira sudah amat gamblang memberi arah kebijakan. Di dalam Perpres tersebut pun sudah memuat skema pembangunan kilang minyak yang bisa dilakukan oleh Pertamina," ujarnya.
Legislator dari Dapil Jawa Timur X ini kemudian mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi total terhadap kebijakan yang mandeg ini. Pemerintah katanya perlu melihat dan dievaluasi pihak-pihak mana saja yang harusnya bertanggungjawab, kenapa tidak dijalankan dan apa kendalanya.
"Selama ini, ada banyak argumentasi yang dibangun kenapa pembangunan kilang minyak tidak segera diwujudkan. Mulai soal sulitnya pembebasan lahan, perlunya intensif baik fiscal maupun nonfiskal, serta kendala perijinan dan regulasi," ungkapnya.
Jika memang kendala-kendal di atas yang terjadi, imbuhnya, seharusnya Kementerian ESDM bersama Pertamina bisa segera mengambil langkah konkrit untuk menjebol jalan buntu tersebut.
"Saya kira ini adalah soal komitmen dan kemauan," ujar Eni.
Lebih lanjut, skema pembangunan kilang minyak menurutnya sangatlah variatif. Diantaranya pertamina membangun sendiri, bisa kilang dibangun swasta, bisa juga asing yang membangun sebagai investasi, dan bisa kerjasama pemerintah dan swasta.
"Skema itu hanya model yang saya kira bisa dibicrakan. Tapi subtansinya pemerintah harus diyakinkan yakinkan soal pembangunan kilang minyak ini. Kedaulatan energi adalah janji Jokowi. Makna dari semua hal di atas bahwa bangsa ini sudah darurat atas kilang minyak. Tanpa ada pembanguna kilang-kilang minyak baru maka selamanya kita hanya akan menjadi importir minyak dan soal kemandirian dan kedaulatan energi hanya mimpi belaka. Saat ini Indonesia hanya memiliki enam kilang minyak, dan rata-rata tidak mampu memenuhi produksi untuk kebutuhan BBM di tanah air. Karena itu pembangunan kilang minyak adalah keharusan dan rak bisa ditawar," pungkas politisi kelahiran Jakarta 13 Mei itu.