Pemberian perlindungan kepada saksi termasuk pengadaan rumah aman bagi saksi dan korban merupakan kewenangan sepenuhnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tak boleh ada lembaga lain yang diberi kewenangan yang sama dengan LPSK.
Penegasan tersebut disampaikan Anggota Pansus Angket KPK-DPR RI Mukhamad Misbakhun, usai rapat dengar pendapat dengan LPSK, Senin (28/8/2017). “Dilihat dari sisi UU Perlindungan Saksi, maka kewenangan perlindungan saksi itu sebenarnya kewenangan LPSK semata. Tidak boleh ada lembaga lain yang secara internal melakukan perlindungan saksi sendiri tanpa koordinasi dengan LPSK.”
Politisi Partai Golkar ini menambahkan, bila ada seorang saksi yang ditempatkan di suatu rumah tertentu tanpa koordinasi dengan LPSK, maka itu disebut penyekapan. Inilah yang terjadi pada kasus Niko Panji Tirtayasa, saksi kasus korupsi yang ditempatkan KPK di sebuah rumah di Depok dan Kelapa gading, Jakarta.
“Dalam kasus Niko Panji Tirtayasa tidak ada koordinasi itu. Kalau ada perlindungan saksi tanpa koordinasi dengan LPSK dan mengadakan safe house sendiri dengan alasan tertentu, itu adalah penyekapan. Perampasan kebebasan orang dan itu adalah pelanggaran HAM berat,” ucap Misbakhun.
LPSK, lanjut Misbhakun, sudah mejelaskan kepada Pansus bahwa sudah terjadi perlakuan yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan dan petunjuk pelaksaan teknis tentang pengadaan rumah aman. UU pun telah memisahkan kewenangan penyidikan dan pengadaan perlindungan saksi. UU telah mengatur pemisahan lembaga ayng punya kewenangan penyidikan dan perlindungan saksi. “Nanti kita akan konfrontir pendapat tersebut saat memanggil KPK,” tutupnya.