RMOL. Komisi VI DPR menolak tegas kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan uang elektronik dalam transaksi di gardu tol (E-Toll).
Anggota Komisi VI Bambang Haryo Soekartono menjelaskan, kebijakan tersebut tanpa disadari banyak pihak telah merugikan masyarakat. Pemilik dan pengguna kartu e-Toll tanpa sadar sesungguhnya telah diambil paksa uangnya oleh pihak pengelola jalan tol dan bank yang menerbitkan kartu e-Toll.
Ditambah dengan dana saldo e-Toll yang mengendap di bank karena tidak digunakan pemilik kartu, dan kemudian dapat diputar oleh bank untuk kepentingan bisnisnya. Bahkan, dia mencurigai pemberlakuan e-Toll oleh pemerintah bekerjasama dengan para perbankan sebagai sarana merampok uang rakyat.
Untuk itu, Bambang meminta agar pemerintah tidak gegabah dalam mewajibkan rakyat menggunakan e-Toll.
"Mereka sudah dipersulit dengan pengisian ulang kartu e-Toll itu sendiri yang pertama harganya sangat mahal, kartunya itu dijual tidak masuk akal. Kartu dijual ada yang Rp 20 ribu, ada yang Rp 10 ribu, ada yang Rp 25 ribu," keluhnya kepada wartawan di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (24/10).
Selain itu, kerugian yang dialami masyarakat dengan uang elektronik apabila kartu hilang, maka sejumlah uang yang ada didalamnya juga akan ikut lenyap. Bambang juga beranggapan kartu e-Toll tidak boleh diperjualbelikan, seharusnya kartu e-Toll masuk di dalam infastruktur yang harus disediakan oleh penyedia layanan jalan tol.
"Karena dia punya kepentingan dengan adanya kartu itu dia bisa menghemat sumber daya manusia. Jadi harus menyediakan infrastruktur itu jadi satu beserta kartunya. Ini juga memberikan kesempatan untuk penyedia fasilitas itu melakukan korupsi, atau penyelewengan dalam jual beli kartu," papar Bambang.
Di sisi lain, kebijakan tersebut dinilai merugikan pekerja dan masyarakat karena bertentangan dengan UU 7/2011 tentang Mata Uang. Transaksi melalui gardu tol otomatis (GTO) hanya dapat dilakukan pengguna jalan yang memiliki kartu elektronik tol. Padahal, fitur e-Toll hanya bersifat sebagai pengganti uang tunai dan bukan merupakan alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam UU Mata Uang. Jika ada yang menolak uang kertas atau logam, maka hal itu adalah pidana termasuk jika pengelola jalan tol menolak uang kertas atau logam.
"Pemerintah dan lembaganya tidak boleh menolak mata uang rupiah. Kita hanya mengenal uang kertas dan uang logam, tidak ada uang elektronik," kata Bambang.
Lebih lanjut, politisi Partai Gerindra itu beranggapan, kondisi diperparah dengan kebijakan GTO yang dipaksakan akan ada 1.500 karyawan jalan tol yang berasal dari Jasa Marga, Citra Marga, JLJ, JLO, dan lainnya terancam kehilangan pekerjaan.