BESARNYA gelontoran dana alokasi khusus ditambah mengalirnya dana otonomi khusus (otsus) bagi Provinsi Papua, tidak serta merta diikuti dengan perbaikan pelayanan kesehatan.
Hal itu membuat DPR mempertanyakan pengelolaan dana tersebut oleh pemerintah daerah.
"Dana otonomi khusus seharusnya diaudit, ke mana mengalirnya selama ini. Jika pemerintah daerah peduli dan mampu mengelola dengan baik, tentu pelayanan kesehatan harusnya tak perlu jadi masalah," ujar anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago di Jakarta, Minggu (28/1).
Menurutnya, dana tersebut perlu dievaluasi. Sebab, selama ini masyarakat di Papua tidak dapat merasakan manfaat signifikan dari keberadaan dana otsus.
"Kenapa dengan dana yang cukup besar tersebut belum terlihat hasil dari pembangunan SDM, pelayanan kesehatan dan pendidikan," imbuh dia.
Irma bahkan mengusulkan agar pemerintah mengawasi penggunaan dana otsus dengan adanya audit oleh BPK. Pasalnya, dalam APBN 2018, pemerintah mengalokasikan dana otonomi khusus Papua mencapai Rp8 triliun. Adapun dana otsus untuk Papua sebesar Rp5,6 triliun dan Papua Barat sebesar Rp2,4 triliun.
Ketidakmampuan pengelolaan dana otsus dan dana alokasi khusus oleh pemerintah daerah untuk memenuhi pemerataan pembangunan dan pemberian fasilitas kehidupan yang layak pada masyarakat, berdampak pada masih berulangnya masalah kesehatan. Itu seperti kejadian banyaknya penderita gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.
Irma mengatakan dana kesehatan belum sampai pada perbaikan layanan kesehatan yang memadai.
"Dana kesehatan yang berasal dari APBN untuk seluruh wilayah disesuaikan dengan kebutuhan wilayah masing masing melalui program kerja di Kemenkes. Papua tentu kebutuhannya besar," imbuh dia.
Irma juga mendorong Kementerian Kesehatan menambah tenaga kesehatan di Papua agar jumlahnya ideal. Dikatakannya, banyak tenaga kesehatan yang enggan ke daerah karena belum memadainya tunjangan bagi mereka.
Demi memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, dia mengatakan Kemenkes dan pemda harus memberikan insentif kepada tenaga kesehatan yang bersedia bertugas ke daerah terpencil ataupun terisolir seperti sebagian wilayah Papua. (OL-4)