RMOL. Kebijakan-kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati kembali disoroti kalangan politisi Senayan. Utamanya terkait kebijakan menurunkan batasan omzet Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari saat ini Rp 4,8 miliar per tahun dan memangkas Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) sebesar 1 persen menjadi 0,5 persen.
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan menduga penurunan batasan omzet PKP itu adalah untuk mencegah pelaku usaha besar sengaja merubah usahanya menjadi UKM hanya untuk menghindari pajak. Jika memang benar itu alasannya, maka kebijakan yang tepat adalah melacak identitas dan mengumumkan pengusaha berlaku curang ke publik.
"Pada konteks ini, pemerintah musti melakukan pengawasan ekstra terhadap pengusaha sebagaimana dimaksud," katanya dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Rabu (31/1).
Untuk itu, ujar politisi Partai Gerindra ini, pemerintah perlu membangun database UKM yang terintegrasi dan kredibel. Jika tidak, maka kebijakan penurunan batas PKP yang serampangan justru akan mematikan UKM yang ada.
Untuk diketahui, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 57 juta. Hanya saja kata Heri, itu tidak terdata secara terintegrasi, sehingga menyulitkan kontrol dan pengukuran yang lebih valid.
"Karena itu saya tak melihat sisi positif dari kebijakan tersebut. Batas omzet Rp4,8 miliar itu sudah proporsional," imbuhnya.
Penurunan PKP dinilainya justru akan berdampak pada pendapatan bersih UKM. Kemampuan UKM akan mengalami penurunan. Hal itu karena, sebagian pendapatan UKM akan terserap pajak. Padahal, UMKM sesungguhnya sangat perlu ditumbuhkembangkan.
"Terlebih, kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 61 persen terdiri dari usaha mikro 30,3 persen, usaha kecil 12,8 persen, dan usaha menengah 14,5 persen. Ini adalah potensi yang musti dirawat dan bukan justru dimatikan," ketusnya.
Untuk itu, menurut Heri, seharusnya malahan batas omset PKP dinaikkan dan tarif diturunkan. Dengan begitu pasti penerimaan pajak bakalan naik karena diindikasikan banyak pengusaha saat ini yang menahan omzet dibawah PKP, jika melebihi PKP, mereka akan kesulitan menyelenggarakan pembukuan keuangannya.
"Banyak UMKM secara omzet lebih dari PKP 4,8 miliar dengan margin kecil, banyak juga UMKM yang omzetnya di atas 4,8 miliar tapi sulit membuat pembukuan karena keterbatasan tenaga pembukuan. Bahkan kalau mereka disuruh membuat pembukuan pun banyak yang bingung atau bahkan tidak mengerti bagaimana membuat pembukuan. Bukan tidak mau membayar pajak, tapi lebih kepada masalah accounting pembukuan, disamping tenaga accounting yang tidak murah," urainya.
Lebih lanjut Heri Gunawan menyoroti soal pemangkasan PPH UKM yang tadinya sebesar 1 persen menjadi 0,5 persen dari omset maksimal Rp 4,8 miliar setahun. Terkait itu, anak buah Prabowo Subianto ini menyambut baik.
"Ini langkah positif. Itu dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan kemampuan berusaha UMKM. Ujungnya, daya saing UMKM akan lebih baik," akunya.
Diakuinya bahwa selain persoalan efisiensi, efektivitas, dan kemampuan berusaha, sektor UMKM juga terkendala persoalan permodalan. Karenanya, UMKM membutuhkan stimulus berupa akses modal dan pelatihan modal, termasuk stimulus fiskal.
"Kebijakan penurunan PPh UKM akan sangat membantu meningkatkan daya saing UMKM nasional. Dengan begitu, UMKM diharapkan dapat berkontribusi lebih terhadap PDB. Di samping itu, perlu ada upaya guna menaikkan kelas UMKM. Apalagi, mereka terbukti kuat dan terbilang tahan banting ketika krisis ekonomi sehingga perekonomian nasional bisa keluar dari arus perlambatan ekonomi global," ujarnya.
Meski demikian, Heri Gunawan mengaku menduga bahwa kedua rencana tersebut sangat berkaitan erat dengan target pajak pemerintah yang terlampau tinggi, yakni sebesar Rp1.618 triliun.
"Target pemerintah terlampau amibisius sedangkan potensi penerimaan makin menurun. Rasanya pemerintah sendiri sudah tahu kalau target penerimaan tidak akan tercapai tapi sangat ambisius menetapkan target penerimaan yang akibatnya fiskus pajak mengambil cara yang paling gampang menurut mereka sendiri yaitu mengejar Wajib Pajak yang sudah ada," tegasnya.
Apalagi, bebernya, lebih dari 70 persen penerimaan APBN bersumber dari pajak. Sementara realisasi penerimaan pajaknya selama ini terus melenceng dari target. Pada sisi lain, pemerintah dihadapkan dengan beban jatuh tempo utang yang kalau ditotal untuk tahun 2018 dan 2019 bisa mencapai Rp810 triliun.
"Ini adalah beban yang nyata dan akan terus berulang. Implikasinya seperti yang kita lihat sekarang menjadi beban rakyat termasuk UMKM," tutup Heri.