RMOL. Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa beserta rombongan menyambangi Ketua MPR Zulkifli Hasan di Kompleks Parlemen, Jakarta. BPH Migas curhat, program cadangan bahan bakar minyak (BBM) nasional belum bisa direalisasikan lantaran terkendala anggaran.
"Jadi kami memang baru sempat menghadap Ketua MPR, kami ingin minta arahan. Intinya, Ketua MPR Pak Zulkifli selalu sosialisasi empat pilar, Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh bangsa. Nah, BPH Migas juga melakukan hal yang sama," ujar pria yang akrab disapa Ifan saat berbincang dengan Zulkifli.
Pertemuan yang berlangsung satu jam itu terasa hangat. BPH Migas menyampaikan cadangan BBM yang harus disiapkan pemerintah, dalam hal ini BPH Migas. Anggota komite BPH Migas Saryono Hadiwidjoyo mengungkapkan, pihaknya belum bisa melaksanakan program tersebut karena terkendala masalah anggaran. Saat ini, hanya Pertamina yang telah memiliki cadangan BBM untuk operasional.
"Salah satu tugas BPH Migas adalah menjamin ketersediaan BBM nasional, tapi BBM nasional belum bisa, karena kendala anggaran. Cadangan BBM nasional belum ada (dari BPH Migas). Cadangan yang ada ini operasional 20-23 hari, itu Pertamina," katanya.
Idealnya, menurut Badan Energi Internasional (IEA), cadangan nasional BBM suatu negara mencapai 90 hari. Sebagai pembanding, Jepang memiliki cadangan nasional BBM 203 hari dan Amerika Serikat (AS) 210 hari. "Melihat kondisi ini, bisa dibilang riskan, jika terjadi sesuatu pada pasokan BBM," ujarnya.
Saryono mengungkapkan, untuk menyediakan cadangan BBM nasional 1 hari, pihaknya membutuhkan Rp 1 triliun. Hal itulah yang menjadi pengakuan BPH Migas untuk segera ditindaklanjuti pemerintah, sekaligus antisipasi ketergantungan impor.
"Menurut kajian tahun 2010 dulu, pemerintah dan Pertamina itu menambah 1 hari itu Rp 1 triliun. Kendalanya anggaran. Sementara negara di dunia itu sudah 90 hari, kita masih 20 hari itu operasional," keluhnya.
Berbeda dengan Saryono, Anggota Komite BPH Migas Yugi Prayogia justru bercerita soal minimnya jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Saat ini, jumlah SPBU di Indonesia berkisar 6 ribu sampai 7 ribu di seluruh wilayah.
Yugi memandang, jumlah tersebut tidak sebandingan total penduduk Indonesia yang hampir 260 juta jiwa. "Rasio jumlah penduduk dengan pengadaan SPBU, itu masih sangat tinggi rasionya dibandingkan ASEAN. Terhadap jumlah penduduk itu, satu SPBU kita layani 35 ribu orang, itu rasio rata-rata," katanya.
Menurut Yugi, minimnya SPBU di dalam negeri karena biaya pembangunannya sangat mahal. Dalam membuka satu SPBU di Jakarta, dana yang dibutuhkan paling tidak berkisar Rp 20 triliun. Pihaknya memiliki satu langkah dengan program sub penyalur di daerah. Instrumen tersebut dinilai bisa menjangkau jaringan layanan SPBU di seluruh Indonesia dengan investasi yang terjangkau.
"Kami punya ide sub penyalur, sub penyalur ini dia bisa investasi Rp 50 juta bisa bangun. Di Asmat (Papua) ada, kita sudah resmikan 3 wilayah, di Gorontalo juga ada. Harga jual itu dipatok sama sesuai dengan BBM satu harga, nanti volumenya dibatasi 1.000 liter per hari," terangnya.
Menanggapi hal tersebut, Zulkifli mendukung BPH Migas dalam menjaga ketersediaan pasokan Migas di Indonesia. Menurut Dia, sektor energi merupakan salah satu hal yang paling penting untuk menjaga kedaulatan Indonesia.
"Migas adalah sektor yang menentukan masa depan bangsa kita. Itu di samping pangan. Jadi tugas bapak akan menentukan bagaimana arahnya di Indonesia. Karena kalau ini dua tidak berdaulat maka berat. Nanti bisa negara yang kena perangkap tidak bisa berkembang, sulit maju. Jadi stagnan," katanya.