Anggota Komisi XI DPR RI Haerul Saleh mengajak koleganya di DPR agar mengembalikan uang THR dan gaji ke-13 yang akan diberikan pemerintah jelang hari raya Idul Fitri nanti.
Menurutnya, tidak elok jika wakil rakyat menerima THR dan gaji ke-13 bila dana tersebut berasal dari pinjaman utang.
Dia mengaku kasihan terhadap rakyat Indonesia, yang pada akhirnya harus membayar utang tersebut melalui pajak dan lain-lain.
"Yang paling penting saat ini yang kita semua bertanya adalah gaji ke-13, THR, gaji unit kerja itu dibayar dengan duit yang bersumber dari mana? Jangan sampai dibayarkan pakai utang!," kata Haerul saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/5/2018).
"Kalau benar itu dari utang maka saya mengajak teman-teman anggota DPR untuk bersama-sama kita kembalikan saja THR itu buat pemerintah nyicil utang, dan secara tidak langsung itu namanya sama saja dengan kita kembalikan kepada rakyat," tandas politisi Gerindra itu.
Hal ini, kata dia, mengingat kondisi perekonomian nasional yang mengkhawatirkan.
"Kita patut bertanya, karena kita semua tahu target penerimaan kita masih jauh dari harapan, ekonomi sedang lesu, dimana-mana serba susah," ungkapnya.
Dia menilai, di tahun politik saat ini dan ditambah lagi menjelang hari raya Idul Fitri banyak kebijakan-kebijakan Jokowi yang terbilang tidak masuk akal dan karena menjurus pada pemborosan APBN.
"Saya sendiri bingung dengan pemerintah yang memaksakan membayar gaji 13 dan memberi THR, ditambah lagi beberapa kebijakan-kebijakan lain yang memiliki konsekuensi anggaran, seperti Dewan pengarah pembina Pancasila," kata Haerul.
"Soal gaji di BPIP itu saya pikir memang masih wajar untuk orang-orang yang telah berkontribusi besar pada Negara ini, akan tetapi gak gitu juga caranya. Kita bisa membuat undang-undang untuk lebih menghormati para mantan presiden dengan berbagai macam fasilitas. Gak perlu membuatkan jabatan lagi yang tidak jelas kerjanya," sindir dia.
Khusus soal jabatan BPIP, justru menurutnya, pemberian jabatan tersebut secara tidak sadar sejatinya telah mendown gread posisi mantan presiden itu sendiri.
"Sebab disebutkan unit kerja ini (BPIP) setingkat dengan menteri, belum jelas tujuan dan kerjanya seperti apa, dan terakhir biaya operasional yang lumayan tinggi," pungkasnya.