Dirut PT Samantaka Batubara, Rudy Herlambang membongkar peran eks Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih dalam kasus suap PLTU Riau-1. Rudy menyebut Eni berperan untuk mengkomunikasikan pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo dengan pihak PLN.
Rudy mengaku dikenalkan Eni ke Johanes Kotjo. Rudy ditugasi mengurusi hal teknis terkait proyek itu, sedangkan Kotjo berperan mengurusi hal non teknis. Namun Rudy mengaku tidak merasakan peran Eni di sisi teknis proyek itu.
"Jadi yang saya rasakan di teknis peran terdakwa tidak ada. Karena seluruh prosedur kita ikuti dan seluruh prosedurnya itu deadlock," kata Rudy saat bersaksi di persidangan Eni, di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Selasa (4/12/2018).
Menurut Rudy, Eni berperan mengkomunikasikan antara PLN dengan Johanes Kotjo saat pembahasan proses proyek PLTU Riau-1 belum ada kesepakatan. Pada awal 2018, Rudy mengaku pernah ditelepon Eni tetapi tidak diangkat dengan alasan takut.
Kemudian Johanes Kotjo memerintahkan Rudy untuk mengangkat telepon Eni. Dalam telepon itu, Rudy mengaku difasilitasi oleh Eni untuk bertemu dengan PLN untuk membahas proyek tersebut.
"Kemudian terdakwa telepon saya lagi dia bilang, 'oh ya mas, saya sudah izin Pak Kotjo bagaimana kalau kita ketemu di PLN.' (Rudy bertanya) 'ok bu, tapi urusan apa ya?'. (Eni menjawab Rudy) 'sudah kita ketemu di PLN saja biar cepat selesai'," papar Rudy sambil menirukan percakapan telepon dengan Eni.
"Begitu saya izin Pak Kotjo, 'pak ini kan bukan ranah saya, saya kan urus teknis'. (Johanes Kotjo menjawab) 'ya sudah nggak apa-apa ditemui aja'. Karena apak Kotjo lagi di Jerman saat itu. Akhirnya terdakwa bilang ke saya, biar selesai saya disuruh selesaikan di PLN masalahnya apa," imbuhnya.
Rudy kemudian meluncur ke kantor PLN. Eni sudah tiba lebih dulu. Di sana, Rudy diminta menjelaskan soal masalah perbedaan keinginan konsorsium CHEC Ltd.
"Bertemu Direktur Pengadaan Pak Iwan Supangkat di ruangannya. Saya disuruh menjelaskan apa sih yang deadlock ini kok nggak kelar-kelar," ungkapnya.
Rudy menyebut perusahaan Samantaka rencananya berperan sebagai penyuplai batubara dalam proyek itu. Rudy mengaku hanya berbicara sekitar 10 menit, sementara Eni masih tetap berdiskusi saat ia keluar ruangan.
"Tidak ada apa-apa pak (kesepakatan). Kita hanya mendengarkan Pak Iwan nanya. Kemudian terdakwa juga tidak bisa bicara. Karena apa saya nggak tahu yang jelas no comment. Begitu saya 10 menit pergi, terdakwa dengan Pak Iwan masih ada di situ tapi saya sudah tidak ada. Tapi belum ada kesepakatan waktu itu," ujarnya.
Kemudian jaksa membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Rudy yang menjelaskan maksud Eni memfasilitasi pertemuan dengan PLN. Di mana, sebagaimana kesaksian Rudy, pertemuan itu untuk mempercepat proyek PLTU Riau-1.
"Ini kami bacakan di BAP Nomor 8. Ini saksi mengatakan, 'ya benar yang saya ketahui bahwa peran dari Eni Saragih sebagai anggota Komisi VII membantu saudara Johanes Kotjo dalam hal bertemu dengan PLN, membantu pembahasan dengan PLN apabila deadlock sehingga Eni akan membantu mempertemukan saya dengan pihak PLN.," tutur jaksa membacakan BAP Rudy.
"Adapun maksud dari bantuan Eni tersebut adalah untuk mempercepat proses sampai kepada penandatanganan dari PLTU Riau-1," sambung jaksa.
Merespons kesaksian Rudy, Eni yang duduk di kursi terdakwa mengaku tak pernah meminta untuk mempercepat pelaksanaan proyek tersebut. Namun dia mengakui semua kesaksiannya.
"Saya tidak pernah mempengaruhi, menghubungi, menekan atau memaksa para saksi untuk kepentingan mempercepat atau melaksanakan proyek PLTU Riau-1," ujar Eni.
Eni didakwa menerima suap Rp 4,75 miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo. Duit itu diterima Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU Riau-1.
Selain itu, Eni didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 5,6 miliar dan SGD 40 ribu (atau sekitar Rp 400 juta). Uang itu diterima Eni dari sejumlah direktur dan pemilik perusahaan di bidang migas.
Eni dijerat dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.