Alasan opini menurut BPK RI :
Sebagaimana diungkap dalam Catatan 5.5.1.1.5.1 dan 5.3.1.1.1.1 atas Laporan Keuangan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyajikan saldo Piutang Pajak per 31 Desember 2015 seniJai Rp6,31 triliun pada Neraca, diantaranya saldo Piutang Pajak Bumi dan Bangunan - Pedesaan dan Perkotaan (PBBP2) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) masing-masing senilai Rp5,72 triliun dan Rp50,38 miliar. Sedangkan Pendapatan PKB-LO senilai Rp6,11 triliun dicatat dalam Laporan Operasional. Pengendalian pengelolaan pendapatan dan piutang PBB-P2 belum memadai sehingga BPK menemukan data-data yang berbeda terkait penerimaan kas atas PBB-P2 dan Piutang PBB-P2 yang tidak dapat ditelusuri dan berdampak pada nilai saldo Piutang PBB-P2 yang seharusnya disajikan. Selisih tersebut antara lain terkait data penerimaan kas dari PBB-P2 menurut laporan keuangan yang bersumber dari Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah selisih lebih besar senilai Rp47,80 miliar dibandingkan dengan data menurut Dinas Pelayanan Pajak yang bersumber dari Payment Online System. Selain itu juga terdapat selisih data Piutang PBB-P2 atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang terbit sebelum 2015 menurut laporan keuangan yang bersumber dari data Unit Pelayanan Pajak Daerah dengan data di Dinas Pelayanan Pajak yaitu selisih kurang senilai Rp 173,34 miliar dan selisih lebih senilai Rp167,65 miliar. BPKjuga menemukan perhitungan tagihan PKB yang tidak berdasarkan Nilai Jual Kendaraan Bermotor pada tahun terutangnya pajak sebagaimana diatur dalam peraturan gubernur sehingga ditagih terlalu rendah dan saldo Piutang PKB tidak konsisten menyajikan terpisah dengan piutang atas sanksi denda. Pendapatan PKB-LO atas tunggakan PKB tahun-tahun yang lalu dinilai terlalu rendah minimal sebesar Rp26,48 milar dan pendapatan atas sanksi denda dinilai terlalu rendah minimal sebesar Rp73,06 miliar. BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang nilai Piutang PBB-P2, Piutang PKB dan Pendapatan PKB-LO, karena tidak tersedia data dan informasi pada satuan kerja terkait. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap sal do Piutang Pajak tersebut di atas.
Sebagaimana diungkap dalam Catatan 5.5.1.1.5.11 atas Laporan Keuangan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyajikan saldo Piutang Lainnya per 31 Desember 2015 senilai Rp731, 16 miliar pada Neraca. Piutang Lainnya tersebut tidak termasuk konversi kewajiban pengembang membangun rumah susun ke dalam bentuk uang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum secara jelas mengatur perhitungan dan prosedur penagihan konversi kewajiban pengembang membangun rumah susun ke dalam bentuk uang dan penerapan peraturan tersebut belum memungkinkan pencatatan piutang pada saat hak tagih Pemerintah Provinsi DKI Jakarta muncul. Piutang Lainnya tersebut juga tidak termasuk hak tagih Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada pemegang Surat ljin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) atas kewajiban menyerahkan aset berupa fasilitas sosial dan fasilitas umum (Fasos Fasum). BPK menemukan kelemahan pengendalian terhadap penagihan atas pemenuhan kewajiban pemegang SIPPT tersebut sehingga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum dapat menyajikan hak tagih atas aset berupa fasos fasum sebagai piutang dalam laporan keuangan. Aset fasos fasum yang seharusnya sudah diserahkan pemegang SIPPT kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupa tanah dan disertai jalan, taman atau bangunan di atasnya dengan luas tanah minimal sebesar 16,84 juta meter persegi. BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang nilai Piutang Lainnya, karena tidak tersedia data dan informasi pada satuan kerja terkait. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap sal do Piutang Lainnya terse but di atas.
Sebagaimana diungkap dalam Catatan 5.5.1.3 atas Laporan Keuangan, Pemerintah Provinsi DKJ Jakarta menyajikan saldo Aset Tetap per 31 Desember 2015 senilai Rp363,58 triliun pada Neraca, Pengendalian pengelolaan aset tetap masih belum memadai yaitu pencatatan aset tetap tidak melalui siklus akuntansi dan tidak menggunakan sistem informasi akuntansi sehingga berisiko salah saji; aset tetap senilai Rp 14,52 triliun yang dicatat sebagai aset lain-lain belum divalidasi; aset tetap pada Dinas Pendidikan tidak didukung data Kartu lnventaris Barang (KIB) senilai Rp 14,38 triliun dan yang didukung data KIB namun tidak valid senilai Rp886,41 miliar; aset tetap yang belum dilakukan rekonsiliasi antara data menurut SKPD dengan data menurut BPKAD senilai Rp728,74 miliar; selisih saldo aset tetap menurut neraca SKPD dengan data KIB senilai Rp115,42 miliar; aset tetap tidak ditemukan keberadaannya senilai Rp 1,69 miliar; aset tetap dicatat tidak sesuai dengan fisiknya senilai Rp 172, 13 miliar; aset tanah yang sama dicatat pada tiga SKPD yang berbeda senilai Rp905,8l miliar, dicatat ganda pada dua SKPD yang berbeda senilai Rp668,51 miliar dan dicatat ganda di KIB senilai Rp 1,06 miliar, serta data KIB tidak valid dan tidak informatif senilai Rp3, 15 triliun. BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang saldo Aset Tetap, karena tidak tersedia data dan informasi yang memadai pada satuan kerja terkait. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap saldo Aset Tetap tersebut di atas.
"Menurut opini BPK, kecuali untuk dampak hal yang dijelaskan dalam paragraf -paragraf dasar opini wajar dengan pengecualian, laporan keuangan yang disebut di atas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Desember 2015, dan realisasi anggaran, perubahan saldo anggaran lebih, operasional, arus kas, serta perubahan ekuitas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut, sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan".