Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar M. Misbakhun menuding pemerintah menghancurkan industri hasil tembakau (IHT). Tuduhan disampaikan merespons strategi pemerintah menurunkan angka perokok anak di Indonesia.
"Kalau hanya berpikir kesehatan saja ya buyar. Apalagi kalau bicara perokok pemula. Yang mau disasar perokok pemula, tapi yang mau dihancurkan industrinya," katanya melalui konferensi video, Jumat (15/8).
Ia menilai strategi kebijakan fiskal yang bertujuan menurunkan prevalensi perokok muda justru memberatkan beban industri tembakau. Kalau dilanjutkan, hal ini bisa berdampak pada kesejahteraan petani, pekerja dan pedagang.
Padahal menurutnya, strategi menurunkan prevalensi merokok seharusnya tidak dilakukan dengan pemberatan di sisi fiskal.
Menurutnya, mengacu pada penelitian Universitas Brawijaya berjudul "Fenomena Merokok Pada Usia Dini, Ibu Hamil dan Prevalensi Stunting" yang dipublikasi Agustus 2020, ditemukan kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan jumlah perokok usia dini, ibu hamil dan prevalensi stunting.
Ia mengatakan yang justru harus diperbaiki agar prevalensi menurun adalah pendapatan dan pendidikan masyarakat.
"Kita perbaiki pendapatan masyarakat, pendidikannya, knowledgenya, lingkungan kita perbaiki. Itu yang penting," katanya.
Sedangkan strategi yang diwacanakan pemerintah, menurut Misbakhun tak sesuai dengan target yang dicanangkan. Misalnya terkait wacana menyederhanakan dan menaikan cukai hasil tembakau (CHT). Ia menilai langkah ini akan berdampak pada industri tembakau kecil.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas Pungkas Bahjuri Ali menjelaskan pemerintah mempunyai tiga strategi untuk mengurangi prevalensi perokok anak.
Yakni, kebijakan fiskal, kebijakan non fiskal, dan penanggulangan dampak kebijakan terhadap petani dan pekerja di industri tembakau.
"(Untuk kebijakan fiskal) pertama terkait penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau. Kedua peningkatan tarif secara bertahap," katanya.
Ia mengatakan langkah ini dilakukan karena pihaknya menemukan faktor utama perokok anak karena harga rokok terjangkau. Untuk itu ia menilai CHT harus dinaikkan, namun secara bertahap.
Kemudian juga akan dilakukan simplifikasi tarif CHT yang sekarang ini berjumlah sembilan jenis. Pungkas mengatakan jumlah pemangkasan tarif masih didiskusikan bersama pihak-pihak terkait.
Ia pun menyadari hal ini akan berdampak pada industri, petani dan pekerja. Untuk itu strategi selanjutnya meliputi penanggulangan dampak terhadap petani dan pekerja.
Terdapat beberapa opsi yang dipertimbangkan oleh pemerintah. Antara lain pendampingan agar petani meningkatkan produktivitas.
Ia mengatakan persentase impor tembakau di Indonesia masih tinggi. Pada 2017 misalnya, Indonesia mengimpor 143.663 ton tembakau.
Sedangkan yang diproduksi sebanyak 2002.282 ton. Jika petani bisa didorong untuk mengisi stok yang sebelumnya diisi oleh impor, ia menilai kesejahteraan petani akan terbantu.
Pilihan selanjutnya adalah pengalihan komoditas. Pungkas menyadari hal ini sulit dan perlu ditelaah berdasarkan sosial dan budaya masing-masing petani.
Namun ia mengklaim upaya ini memungkinkan.
"Dan yang penting menurut saya petani yang sosial ekonominya rendah perlu disiapkan perlindungan sosial. Baik karena terdampak atau pindah pekerjaan. Ini harus didampingi," ujarnya.
Dan strategi terakhir adalah kebijakan non fiskal. Ini meliputi pelarangan iklan, promosi atau sponsor rokok, perbesaran gambar peringatan, kawasan tanpa rokok, pengawasan penjualan dan pelarangan rokok elektrik.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Supriadi mengakui banyaknya protes dari industri dan asosiasi tembakau dikarenakan pemerintah tak adil dalam merancang strategi di ranah tembakau.
"Kalau saya lihat kenapa industri banyak protes RPJMN 2020-2024, memang kecenderungan tidak seimbang antara kesehatan dan ekonomi. Jadi yang disampaikan memang harus seimbang antara kesehatan dan ekonomi," ungkapnya.
Pihaknya mencatat terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi industri tembakau 2020 hingga mendatang. Utamanya perkara kenaikan CHT yang rata-rata mencapai 23 persen dan harga jual eceran (HJE) hingga 35 persen.
Ini menyebabkan penurunan volume produksi rokok karena permintaan yang juga menurun. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia mencatat penurunan produksi rokok di tahun 2020 mencapai 20 persen.
Dampaknya, kata Supriadi, bisa berpotensi meningkatkan peredaran rokok. Ini pun dampak buruknya akan dirasakan pemerintah maupun industri tembakau skala kecil dan menengah.
Juga bakal terjadi penurunan omset bagi pedagang, khususnya di warung-warung. Ia mengatakan 40 persen pendapatan warung umumnya didapat dari penjualan rokok.
Kendati begitu pihaknya memprediksi produk sigaret kretek mesin bakal tetap populer di pasar dalam beberapa tahun mendatang. Namun penurunan bakal dirasakan sigaret kretek tangan, yang sesungguhnya menyerap lebih banyak tenaga kerja.