Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam) M. Azis Syamsuddin menilai revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) penting dan relevan untuk dilakukan dalam upaya memperkuat kualitas demokrasi bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
"Saya menyerap aspirasi sebanyak-banyak dari masyarakat dalam rangka menyempurnakan sistem demokrasi dan politik di Indonesia. Pembahasan RUU Pemilu relevan dan penting untuk dilakukan," kata Azis dalam keterangan resminya, Selasa (9/2/2021). Dia menjelaskan argumen urgensi revisi UU Pemilu. Pertama, UU Pemilu telah menyebabkan kondisi kompleksitas penyelenggaraan pemilu lima kotak yaitu Pemilihan Presiden, DPR, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kedua, pengaruh terhadap tingginya surat suara tidak sah atau "invalid votes" dan surat suara terbuang atau "wasted votes". Ketiga Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan Pemilu. Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 55/PUU-XVII/2019 menyebutkan enam varian model Pemilu serentak untuk digagas oleh pengubah UU sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Keenam varian tersebut yaitu, pertama, Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan presiden. Kedua, Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Ketiga, Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota.
Keempat, Pemilu serentak nasional untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya Pemilu serentak lokal untuk memilih DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota. Kelima, Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya Pemilu serentak provinsi untuk memilih DPRD provinsi dan gubernur, dan beberapa waktu setelahnya Pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota.
Keenam, pilihan-pilihan keserentakan lain sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Azis menjelaskan alasan keempat urgensi revisi UU Pemilu yaitu desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang cenderung belum berimbang dalam membangun posisi dan relasi antara KPU, Bawaslu, dan DKPP.
"Kelima, kebutuhan penyelarasan pengaturan dengan berbagai putusan MK terkait UU Pemilu seperti hak pilih, mantan terpidana, dan lain-lain," ujar politisi Partai Golkar itu. Alasan keenam, penyelesaian permasalahan keadilan pemilu dengan terlalu banyak ruang saluran atau "many room to justice" sehingga sulit mencapai keadilan dan kepastian hukum.
Selain itu Azis mengakui adanya kecenderungan sejumlah partai politik ingin menunda revisi terhadap RUU Pemilu karena Pilkada dan Pemilu diselenggarakan bersamaan di tahun 2024. Ia mengatakan, revisi terhadap UU Pemilu bukan bertujuan untuk menggugurkan amanat UU Pilkada tahun 2016 yang melahirkan ketentuan terjadinya penyelenggaraan Pemilu secara serentak di tahun 2024 bersamaan dengan Pilkada dan Pilpres.
"Justru sebaliknya, revisi UU Pemilu dibutuhkan untuk mencari solusi atas sejumlah kekhawatiran bila Pilkada dan Pemilu diselenggarakan serentak, seperti kesiapan anggaran, kesiapan penyelenggara, kesiapan pemilih, serta keadilan dan kepastian hukum. Itu semua terkait dengan kualitas pemilu dan legitimasi," katanya.
Azis mengimbau, apabila akhirnya sejumlah Fraksi di DPR memutuskan untuk tetap merevisi UU Pemilu, maka fokus pembahasan harus berkenaan dengan upaya mencari solusi dalam rangka membangun sistem penyelenggaraan Pemilu yang efektif dan efisien. Langkah itu menurutnya sebagai upaya untuk menyempurnakan sistem demokrasi di Indonesia dan diharapkan publik tidak berspekulasi tentang rencana DPR melakukan revisi terhadap UU Pemilu.