Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani meyakini substansi revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) merupakan respon Pemerintah terhadap berbagai keresahan yang selama ini berkembang di masyarakat.
DPR RI pun diyakini Christina memiliki tujuan yang sama agar revisi UU ITE ini benar-benar menjawab permasalahan yang ada.
Beberapa catatan terkait revisi UU ITE diterima Christina dalam Audiensi Virtual Revisi UU ITE yang digelar Amnesty Internasional Indonesia di Jakarta, Rabu (25/11/2021).
"Dari audiensi ini kami mendapat tambahan masukan apa yang berkembang di masyarakat, apa harapan untuk menjawab kekhawatiran yang ada. Ini akan menjadi catatan kami dalam pembahasan revisi UU ITE," jelas Christina.
Beberapa hal yang menurut Christina menjadi perhatian publik antara lain terkait pasal karet berpotensi meredam suara-suara kritis di masyarakat yang menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi.
"Muncul pertanyaan apakah revisi ini akan membungkam suara-suara kritis atau tidak, apakah revisi akan menjamin kebebasan berekspresi, ini semua jadi perhatian publik yang menjadi catatan bagi kami di DPR-RI," jelas wakil rakyat Dapil DKI Jakarta II tersebut.
Ditambahkan Christina, juga menjadi harapan agar revisi UU ITE mampu menghasilkan regulasi yang tidak bersifat represif melainkan responsif sesuai dengan paradigma restorative justice yang berkembang.
Terkait pasal karet, menjadi perhatian utama dalam revisi ini. "Itu kami sepakat supaya tidak ada masalah multitafsir lagi ketentuan pidana itu harus jelas sehingga tidak ditafsirkan macam-macam," jelasnya.
Menurut Christina, nantinya Pemerintah dan DPR perlu membuka ruang partisipasi publik yang optimal dalam pembahasan revisi UU ITE.
"Selama ini cukup banyak masyarakat terciderai dengan penerapan ketentuan pasal UU ITE, harus dipastikan tidak akan terjadi lagi, masukan publik perlu didengar dengan optimal, kata Christina.