Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid, MA mengatakan bahwa Orde Reformasi menghadirkan apresiasi sangat tinggi pada ketentuan-ketentuan soal Hak Asasi Manusia (HAM), seperti soal Seni dan Budaya, juga soal Agama.
Sekalipun tetap disebutkan adanya batasan-batasan dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan HAM, sehingga pemberlakuan sensor termasuk yang mandiri atau self-censoring yang bisa dilakukan oleh para sineas Indonesia dan LSF maupun individual warga Indonesia, mempunyai rujukan yang telah gamblang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, agar film-film Indonesia sebagai bentuk produk seni dan budaya, bisa hadir dan mendukung penguatan kualitas seni dan budaya di Indonesia seiring dan sejalan dengan pengamalan nilai-nilai Agama.
Hal tersebut disampaikannya sebagai pembicara kunci dalam Webinar Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri “Film Bernuansa Agama dan Dakwah Digital Kaum Muda” yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF) bersama dengan Universitas Al Azhar Indonesia di Jakarta, Rabu (24/11).
HNW sapaan akrabnya menjelaskan bahwa yang demikian itu karena film merupakan bagian dari seni dan budaya yang dijamin sebagai hak asasi manusia di dalam UUD NRI 1945.
Secara spesifik, hak tersebut diatur dalam Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Selanjutnya, jelas HNW, ada pula Pasal 32 UUD NRI terkait peran negara dalam memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.
“Jadi dari dua pasal ini dapat dipahami bahwa seni dan budaya termasuk memproduksi dan mensensor film, menjadi bagian dari HAM dan secara prinsip didukung oleh Negara,” ujarnya.
HNW menegaskan bahwa selain seni budaya sebagai pengejawantahan dari HAM yang termaktub dalam UUD NRI 1945, dalam pelaksanaannya juga mempertimbangkan HAM lainnya yang juga diakui oleh UUDNRI 1945, yaitu pelaksanaan beragama yang juga dijamin oleh Negara sebagaimana tercantum dalam UUD NRI 1945 (Pasal 28E ayat (1), Pasal 29 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (5)). Bahkan termaktub jelas dalam Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi Bangsa.
“Selain seni dan budaya, beragama pun demikian. Bahkan mempertimbangkan sejarah kompromi dan dinamika hadirkan konstitusi untuk Republik Indonesia Merdeka, ketentuan soal beragama dalam Pancasila itu selalu hadir, karena ia adalah fitrah dan jatidiri bangsa Indonesia,” ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan bahwa konstitusi Indonesia memang beberapa kali berganti atau berubah, dari UUD NRI 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), kembali ke UUD NRI 1945, hingga amandemen UUD NRI 1945 yang berlaku hingga saat ini.
“Dalam perjalanan bangsa tersebut, Pancasila tidak pernah berubah dalam penyebutan sila pertama selalu Ketuhanan Yang Maha Esa. “Jadi, ini menunjukkan nilai-nilai agama bagian dari HAM yang diakui dan dijamin oleh Negara,” ujarnya.
Oleh karena itu, HNW menambahkan dalam pelaksanaan hak asasi manusia, penting sinkronisasi kreasi seni budaya termasuk dalam hal perfilman dengan nilai-nilai Agama yang dari dulu dianut oleh Bapak-Bapak Bangsa yang menyepakati Pancasila dan UUD 1945.
Karena hakekatnya HAM yang disepakati dan diberlakukan di Indonesia bukanlah HAM yang liberal, melainkan yang mengakui adanya pembatasan yang bisa jadi rujukan untuk Lembaga Sensor maupun untuk sensor mandiri (self sencoring).
Hal tersebut dengan jelas diatur dalam dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Ketentuan ini berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.’
“Jadi, jelas bahwa selain Hukum dan Konstitusi di Indonesia melarang Separatisme, Komunisme, Terorisme, yang bisa jadi rujukan sensor, konstitusi Indonesia juga tidak menganut madzhab HAM yang bersifat liberal. UUD NRI 1945 memberikan batasan nilai-nilai moral, nilai-nilai agama serta juga keamanan dan ketertiban umum yang harus menjadi rujukan setiap pelaku industri film di Indonesia, lembaga sensor maupun kesadaran untuk sensor mandiri,” tuturnya.
HNW menegaskan bahwa yang demikian itu, bukan berarti akan hanya menghadirkan pembatasan-pembatasan kreatifitas dalam seni perfilman, terbukti di Indonesia bisa menghadirkan film-film unggulan sekalipun tetap bernuansa keagamaan, dakwah dan diterima sangat baik oleh publik termasuk di kalangan milenial.
Misalnya film Ayat-Ayat Cinta bahkan menyabet sekaligus 5 penghargaan terbaik dalam Film Festival Bandung (2008), juga sinetron Para Pencari Tuhan, dinobatkan sebagai Sinetron Paling Ngetop Sepanjang Masa, karena terus bertahan selama 14 tahun dan tetap mendapat apresiasi tinggi bahkan penghargaan dari Jepang. Juga film Nussa, yang ditayangkan di Malaysia dan Korea Selatan, bahkan memenangkan Piala Citra 2021 sebagai film animasi terpanjang dan terbaik.
“Yang demikian itu, karena apabila memahami dan membaca Pancasila dan UUD NRI 1945 secara baik dan benar, sejatinya nagama dan seni budaya Indonesia bisa berjalan beriringan bahkan saling menguatkan. Namun, sayangnya Pancasila dan UUDNRI 1945 sering tidak dibaca dan dipahami secara historik dan utuh, sehingga ada sebagian pihak yang kerap membenturkan kebudayaan Indonesia dengan nilai-nilai agama dan sebaliknya. Seolah-olah Agama anti seni dan budaya, atau Agama (termasuk dalam produk film dan seni budaya) hanya hasilkan eksklusifisme, radikalisme, bias gender dllnya yang jauh dari nilai utama seni dan budaya,” jelasnya.
HNW mencontohkan tuduhan segelintir buzzer terhadap Film Nussa yang dinilai mengajarkan radikalisme atau eksklusifisme dan tidak sejalan dengan nilai budaya, antara lain karena pemeran utamanya; Nussa memakai gamis dan kopiah, dan Rara memakai jilbab. Bahwa penilaian itu bias pemahaman Agama dan relasinya dengan produk seni film, terbukti bagaimana film tersebut bahkan di tayangkan di Malaysia, dan secara spesifik disambut hangat oleh penonton Korea Selatan (negerinya DraKor). Film itu diundang untuk ditayangkan di Bucheon International Fantastic Film Festival ke 25, dari 8-18 Juli 2021.
“Dan di Indonesia, Film ini memenangi Piala Citra dengan kategori film animasi panjang terbaik, dengan penonton terbanyak. Jadi teruslah berkarya, hadirkan film-film berkualitas termasuk yang bernuansa Agama dan Dakwah Digital untuk Kaum Milenial yang tak mendikotomikan Agama dan Budaya, karena sebagaimana disebutkan diatas, keduanya bisa beriringan hadirkan produk film bernuansa dakwah yang unggulan,” pungkasnya.