Anggota DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf menyoroti hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPKT) 2021 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Bukhori mengatakan, walaupun indeks kebahagiaan penduduk Indonesia secara umum mengalami peningkatan sejak 2017, akan tetapi perasaan khawatir dan tertekan justru mengalami peningkatan.
Dua dari tiga Indikator Indeks Kebahagiaan pada Dimensi Perasaan menyebut, perasaan tidak khawatir/cemas dan perasaan tidak tertekan mengalami kemerosotan masing-masing sebesar 6.42 dan 3.44 dibanding pada tahun 2017 yang bertengger pada skor 64.33 dan 68.31.
Meskipun rilis BPS tersebut tidak membeberkan faktor yang mempengaruhi Dimensi Perasaan tersebut, Ketua DPP PKS Badan Litbang itu menduga terdapat tiga faktor yang disinyalir berkontribusi terhadap pembentukan persepsi responden. Pertama, kondisi sosial-politik; kedua, kondisi ekonomi; ketiga, kondisi penegakan hukum.
Anggota Komisi VIII DPR RI itu menjelaskan, supaya memperoleh pemahaman yang komprehensif, hasil survei BPS itu dapat disandingkan dengan hasil survei penelitian lembaga lain. Di awal, Bukhori mengaitkan hasil survei BPS dengan hasil survei lembaga penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang diselenggarakan pada tahun yang sama, yaitu tahun 2021.
Pertama, terkait faktor sosial-politik. Bukhori menerangkan kondisi kecemasan/perasaan tertekan publik tidak lepas dari pengaruh dinamika sosial politik yang berdampak pada kehidupan demokrasi.
Survei LP3ES menyebut, sebanyak 52,1 persen warga setuju ancaman kebebasan sipil meningkat, diiringi ketakutan dalam menyampaikan, berekspresi, berkumpul, dan berserikat sebagai fondasi penting kebebasan.
Hasil survei LP3ES dikuatkan dengan temuan SMRC pada September 2021 yang membeberkan, sebanyak 39 persen masyarakat mengaku sering atau selalu takut bicara masalah politik.
Kemudian, persentase mereka yang takut karena penangkapan semena-mena aparat hukum sebesar 32 persen, takut ikut organisasi (20%), dan takut menjalankan agama (11%).
“Dari beberapa hasil survei itu, perburukan kondisi sosial politik tanah air dapat dipahami sebagai contributing factor bagi dimensi perasaan publik yang kian merasa cemas dan tertekan dalam menjalani kehidupan sebagai warga negara,” ucap Politikus PKS itu di Jakarta, Rabu (5/1/2022).
Dalam dua tahun belakangan, lanjutnya, hasil survei SMRC menyebut kondisi politik nasional dinilai cenderung memburuk. Dari September 2019 hingga September 2021, responden yang menilai kondisi politik baik/sangat baik menurun dari 41% menjadi 26,8%. Sebaliknya, yang menilai buruk/sangat buruk naik dari 14,5% menjadi 24,4%, paparnya.
Selanjutnya, Anggota DPR RI Dapil Jawa Tengah 1 itu mengaitkan kondisi publik yang cemas dan tertekan dengan faktor ekonomi.
Bukhori merujuk pada hasil riset VoxPopuli Center pada 2020. Dia menerangkan, hasil temuan riset itu mengungkap dari 1.200 responden, sebanyak 67,4 persen mengaku khawatir akan kesulitan ekonomi, sedangkan hanya 25,3 persen yang cemas terpapar oleh virus Corona.
Temuan tersebut juga diperkuat dengan hasil riset kualitatif LSI Denny JA di tahun yang sama yang menyebut masyarakat relatif lebih khawatir pada kondisi perekonomian ketimbang terpapar virus.
“Walaupun kedua riset itu dilakukan pada 2020, namun secara konteks situasi dan kondisi tetap relevan dengan survei BPS yang dilakukan pada Juli-Agustus 2021. Hal itu lantaran kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih akibat amukan gelombang pertama Covid-19 sejak pertengahan hingga akhir tahun 2020, ditambah dengan gelombang Delta yang menghantam sejak Juli hingga September 2021. Dengan demikian, intervensi pemerintah melalui program yang tepat sasaran untuk membantu ekonomi masyarakat sangat diperlukan untuk memberi pengaruh positif pada dimensi perasaan publik,” jelasnya.
Namun demikian, lanjut Bukhori, usaha untuk membantu masyarakat yang tertekan akibat himpitan ekonomi dinilai masih jauh dari harapan. Salah satunya, tercermin dari tidak maksimalnya serapan realisasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang baru mencapai Rp658,6 triliun hingga akhir Desember 2021, atau baru 88,4 persen dari pagu yang dianggarkan Rp 744,7 triliun.
Lebih lanjut, Anggota Baleg DPR itu juga meminta publik skeptis dengan temuan BPS tersebut. Dirinya mewanti-wanti supaya rilis Indeks Kebahagiaan oleh BPS jangan sampai dimanfaatkan untuk mengaburkan rapor merah kinerja pemerintah sepanjang 2021.
“Perlu kami akui, sejumlah program pemerintah selama 2021 berhasil dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sehingga patut dilanjutkan, misalnya Bantuan Operasional Pendidikan Pesantren, BST hingga ATENSI. Walaupun demikian, kami mencoba tetap objektif, bahwa dari berbagai kebijakan lain yang ditorehkan selama pandemi berlangsung, masih terdapat banyak masalah,” tuturnya.
Anggota MPR itu menambahkan, sejumlah koreksi perlu dilakukan pemerintah terkait kinerja di bidang sosial-politik, ekonomi, hingga penegakan hukum.
Karena itu, imbuhnya, rilis BPS tersebut jangan sampai menjadi alat untuk menggiring opini bahwa rakyat seolah-olah duduk bahagia dengan rapor merah pemerintah sepanjang 2021.
Ketiga, terkait kondisi penegakan hukum dan kaitannya dengan kecemasan dan perasaan tertekan publik. Melansir Survei nasional Kompas (Januari-Oktober 2021) menunjukan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang hukum merosot dari 63,4 persen menjadi 60,6 persen. Isu seperti pemberantasan KKN dan jaminan kesamaan perlakuan di mata hukum mengalami tingkat penurunan cukup dalam, antara 4-6 persen.
Anggota yang pernah duduk di Komisi Hukum DPR itu menyatakan, kecemasan atau rasa tertekan publik muncul lantaran merosotnya kepercayaan mereka terhadap pemerintahan Jokowi yang dinilai gagal menegakan hukum yang berkeadilan.
Ia menambahkan, munculnya tagar #percumalaporpolisi, kecaman terhadap vonis rendah terpidana koruptor hingga berbagai kasus-kasus menonjol yang dianggap tidak ditangani memadai oleh aparat adalah ekspresi publik yang marah sekaligus kecewa atas kondisi penegakan hukum di negeri ini.
“Mengembalikan kepercayaan rakyat, sebenarnya, sesederhana mengembalikan khitah hukum. Hukum ada untuk memberi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Sudah saatnya penegak hukum berbenah. Stigma publik yang menyebut untuk memperoleh penanganan hukum yang memadai, mesti didahului fenomena viral patut menjadi bahan evaluasi serius. Presiden Jokowi bertanggung jawab dalam menghadirkan instansi penegak hukum yang dapat memberi jaminan keamanan, kedamaian, dan ketentraman lahir batin masyarakat dengan menegakan hukum sesuai khitahnya,” pungkasnya.