Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Hermanto mengakui, persoalan jalan yang rusak banyak terjadi di hampir setiap lokasi tambang. Bahkan bukan hanya persoalan jalan, namun juga persoalan lainnya. Untuk itu, ia menyarankan untuk menyelesaikan jalan yang rusak akibat aktivitas pertambangan untuk dapat menggunakan dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Menurutnya, dana CSR dari perusahaan itu memang salah satunya untuk kepentingan sosial kemasyarakatan.
Demikian diungkapkan Bambang saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VII DPR RI dengan Pimpinan dan Anggota Komisi III DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (12/12/2022). Dalam kesempatan itu, Komisi III DPRD Kalsel menyampaikan aspirasi terkait longsor dan amblesnya badan jalan nasional Trans-Kalimantan di kilometer 171, tepatnya di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel, yang longsor diduga aktivitas pertambangan batu bara oleh sejumlah perusahaan.
“Kalau memang (perusahaan) tambang ini tidak mau menyelesaikan (perbaikan jalan) sendiri, kita ambil anggaran CSR untuk perbaikan jalan itu. Apalagi ada dua (perusahaan), ada PT MJAB dan PT Arutmin, ini kan tambang-tambang besar. Kalau sekira Rp50 miliar itu kayak-nya tidak susah lah. Bapak bisa lihat di situ berapa banyak yang ditambang setiap hari. Kita akan bisa lihat berapa nilainya. Nilai CSR kurang lebih 2 persen dari keuntungan bersih. Jadi kalau bapak melihat setiap hari ada truk hilir mudik membawa kurang lebih 1000 ton, itu tinggal dikali value-nya berapa, biaya berapa, diperkirakan value-nya,” jelas Bambang.
Politisi Partai Golkar itu menggambarkan permasalahan jalan yang digunakan aktivitas pertambangan, khususnya yang dilakukan PT Pertamina di Pulau Jawa. Ia menjelaskan, dengan banyaknya titik-titik sumur bor namun tidak ada akses jalan, Pertamina harus membuat jalan baru, meskipun nanti kemudian masuk ke jalan nasional. Mengingat hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 11/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Jalan Khusus, sehingga aktivitas tambang harus membuat jalan sendiri. Namun ironinya, pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dengan ketentuan.
“Nah ini kenapa (Kementerian) PUPR sampai hari ini enggan menyelesaikan sendiri. Karena memang di lapangan faktanya yang banyak menggunakan (jalan) adalah perusahaan tambang. Kalau perusahaan tambang dia bikin jalan sendiri, mungkin (perbaikan jalan nasional) akan diselesaikan oleh PUPR. Apalagi sudah ada alasannya dengan jelas, misalnya bencana. Jadi masukan dari saya, mungkin kalau untuk preservasi jalan selain menggunakan anggaran dari APBD dan APBN, bisa menggunakan dana dari CSR. (DPRD) bisa dorong pemerintah daerah mengambil anggaran CSR untuk perbaikan jalan,” usul Legislator Dapil Jawa Barat VIII itu.
Sebelumnya, Komisi III DPRD Kalsel menyampaikan aspirasi terkait longsornya badan jalan nasional Trans-Kalimantan di kilometer 171, Kabupaten Tanah Bumbu, yang diduga karena aktivitas pertambangan batu bara oleh sejumlah perusahaan. Dua perusahaan yang sempat disebut adalah PT Arutmin Indonesia dan PT Mitra Jaya Abadi Bersama (MJAB). DPRD Kalsel juga sudah menyampaikan permasalahan ini ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Dari audiensi tersebut, Komisi VII DPR RI pun merekomendasikan Kementerian ESDM RI agar melakukan penghentian sementara perusahaan pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu yang beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Khususnya perusahaan pertambangan yang berada di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel.