Ketua DPR RI Dr. (H.C.) Puan Maharani mendorong kepolisian untuk mengedepankan perlindungan bagi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ia menegaskan, tak boleh ada toleransi terhadap pelaku kekerasan yang sifatnya penganiayaan.
"Kepolisian perlu bertindak tegas dalam menyelesaikan kasus KDRT, dan pastikan untuk mengedepankan perlindungan korban, apalagi jika perempuan yang menjadi korban. Harus ada ketegasan dalam tindak pidana kekerasan,” ucap Puan dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Selasa (18/7/2023).
Puan pun menyoroti KDRT yang dialami TM, seorang istri di Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel). Dalam kondisi hamil muda, TM dianiaya sang suami (BJ), hingga babak belur. Meski saat ini sudah ditangkap, BJ sempat tidak ditahan walaupun sudah menjadi tersangka KDRT sehingga ia melarikan diri sampai akhirnya kemudian ditangkap usai Polda Metro Jaya turun tangan dalam penanganan kasus ini.
BJ juga melayangkan ancaman pembuhunan untuk TM dan keluarganya ketika proses awal pelaporan ke polisi dilakukan. Puan menilai, seharusnya polisi segera menahan BJ sejak awal apalagi pelaku bukan baru kali ini melakukan KDRT kepada istrinya.
“Jangan ada toleransi untuk KDRT. Kejadian di Serpong ini sangat jahat karena penganiayaan dilakukan dengan keji saat istri sedang mengandung anak dari pelaku sendiri. Sejak pemeriksaan seharusnya sudah ditahan,” tegas Puan.
Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI ini memahami, permasalahan KDRT kerap kali pelik mengingat antara pelaku dan korban merupakan keluarga dan sering kali korban ingin memaafkan pelaku dengan berbagai pertimbangan. Namun begitu, kata Puan, seharusnya aparat penegak hukum memberi dukungan jika korban ingin pelaku KDRT dihukum.
“Dan seperti yang pernah saya sampaikan, penanganan kasus secara maksimal seharusnya tidak menunggu viral terlebih dahulu,” ucapnya.
Kejadian penganiayaan TM oleh suaminya memang ramai setelah videonya viral di media sosial. Kasus tersebut awalnya diproses di Polres Tangsel, namun BD tidak ditahan polisi karena KDRT yang dilakukan BD dianggap tindak pidana ringan.
Puan menyayangkan polisi sempat melepaskan BD meski telah berstatus tersangka. Oleh Polres Tangsel, Pelaku dikenakan Pasal 44 Ayat (4) UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) di mana ancaman hukumannya tidak sampai 5 tahun.
“Subyektivitas polisi harusnya tidak tumpul. Kita selama ini sudah berteriak-teriak untuk perlindungan terhadap perempuan demi kemajuan pembangunan bangsa tapi langkah seperti ini justru membawa kemunduran dari perjuangan kita,” terang Puan.
"Kejadian ini membuat kita miris, khususnya bagi kaum perempuan dan istri. Bagaimana seorang suami yang harusnya melindungi malah melakukan perbuatan penganiayaan. Kepolisian harus tegas dalam menangani peristiwa ini, serta berikan perlindungan dan pendampingan bagi korban," lanjut mantan Menko PMK tersebut.
Puan juga meminta adanya kerjasama lintas lembaga dan kementerian dalam penanganan kasus KDRT. Seperti keterlibatan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KemenPPPA) dan Komnas Perempuan, dalam mendampingi korban KDRT hingga proses penyelidikan selesai.
"Korban KDRT ini emosi dan mentalnya tengah terguncang, di samping luka fisik yang dialami, ada juga persoalan psikologisnya. Jadi perlu pendampingan khusus dari Pemerintah untuk memberikan trauma healing agar korban lebih tegar dalam upaya penyelesaian kasusnya," pinta Puan.
Di sisi lain, cucu Bung Karno itu menyoroti banyaknya kasus KDRT di Indonesia. Berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), terjadi 502.641 kasus KDRT yang dilaporkan pada tahun 2022. Dari jumlah tersebut, 92,6 persen korbannya adalah perempuan.
Sementara dari data Komnas Perempuan, ada 502.641 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) pada tahun 2022. Sebanyak 417.451 kasus (83,3 persen) di antaranya adalah KDRT. Puan kerja sama dari seluruh stakeholder dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
"Perempuan cenderung menjadi obyek kekerasan, baik dari lingkungan sekitar bahkan keluarga sekalipun. Ini merupakan hal yang mendasar, bagaimana Negara perlu memberikan perlindungan lebih bagi perempuan," ujar ibu dua anak tersebut.
Puan juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengantisipasi adanya kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat perlu memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang dapat menghambat pembangunan Negara. "Masyarakat dapat berperan dalam mencegah kekerasan terhadap Perempuan dengan melaporkan kasus kekerasan yang mereka ketahui kepada pihak yang berwenang," ungkap Puan.
Selain peran masyarakat, DPR melalui fungsi pengawasannya dipastikan akan selalu mengawal setiap kasus KDRT. Langkah maju DPR dalam meminimalisir kekerasan terhadap perempuan selain melalui UU PKDRT, adalah dengan mengesahkan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Meski UU TPKS tidak secara khusus mengatur tentang KDRT, kata Puan, UU ini turut melarang tindak kekerasan fisik, psikis, seksual, atau penelantaran dalam rumah tangga. "Oleh karena itu, korban KDRT dapat melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak kepolisian dan mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan UU TPKS," pungkasnya.