Bagi Hasil Migas, Masalah Semua Daerah Penghasil

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengingatkan bahwa perimbangan keuangan pusat-daerah sangat menentukan harmoni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pasalnya, keuangan merupakan salah satu aspek hubungan selain kewenangan, kelembagaan, dan pengawasan. Agar kebijakan fiskal dan pengaturan bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) berimbang, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus menentukan formula yang proporsional.

“Masalah yang disampaikan pemohon a quo, hendaknya dibaca dalam konteks hubungan pusat-daerah. Bagi hasil tidak saja masalah daerah penghasil migas, juga daerah penghasil pertambangan dan sumberdaya alam lainnya,” ujar Cholid Mahmud, anggota Tim DPD pada Sidang Uji Materi Perkara Nomor 71/PUU-IX/2011 di Sidang Panel Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin (Kamis/22/12).

Ketua MK Mahfud MD memimpin acara didampingi anggota majelis hakim Achmad Sodiki, Harjono, M Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman.

Cholid membacakan keterangan DPD dalam sidang uji materi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU 33/2004) terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Dua pemohon judicial review, Luther Kombong dan Bambang Susilo, adalah anggota DPD asal Kalimantan Timur yang turut menghadiri Sidang Panel MK. Awang Ferdian Hidayat dan Muslihuddin Abdurrasyid, dua anggota DPD asal Kalimantan Timur lainnya, tidak menghadiri Sidang Panel MK.

Cholid yang juga Ketua Komite IV DPD menyatakan, perbedaan pengaturan bagi hasil dalam UU 33/2004 dan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh belum sepenuhnya dipahami  daerah. Kemiskinan yang bertahan di daerah penghasil membuktikan bahwa kegiatan pertambangan tidak bermanfaat bagi daerah dan masyarakatnya.

“Malah menjadi masalah sosial yang parah. Sumberdaya alam yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan ternyata menjadi sumber bencana,”ujarnya.

Ia melanjutkan, DPD sangat memahami dalil pemohon dan legal standing-nya selaku perorangan warganegara yang dirugikan hak konstitusionalnya karena, frasa “84,5% untuk pemerintah dan 15,5 % untuk daerah” dan frasa “69,5% untuk pemerintah dan 30,5% untuk daerah” Pasal 14 huruf e dan f UU 33/2004.

Norma tersebut diujikan terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945.

Pemohon mendalilkan alasan kerugiannya, bahwa pengaturan bagi hasil migas dalam UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberi 70% untuk daerah berbeda dengan UU 33/2004 yang memberi bagi hasil 15,5% untuk Kalimantan Timur; serta Kalimantan Timur mempunyai pendapatan asli daerah (PAD) yang rendah kendati berlimpah sumberdaya alam.

Alasan kerugian lainnya, rasa keadilan terganggu karena ketertinggalan pembangunan di daerah penghasil migas terbesar di Indonesia ini berupa pembangunan wilayah yang rendah dan kemiskinan penduduk yang tinggi; serta kerusakan lingkungan karena kegiatan pertambangan menjadi beban sementara sumber pendapatannya tidak cukup membiayai rehabilitasinya.

Permohonan a quo, Pasal 14 huruf e menyatakan, bahwa penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan wilayah/daerah bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dibagi dengan imbangan 84,5% untuk pemerintah dan 15,5% untuk daerah. Pasal 14 huruf f menyatakan, bahwa penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan wilayah/daerah bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dibagi dengan imbangan 69,5% untuk pemerintah dan 30,5% untuk daerah.

Pimpinan DPD tanggal 15 Desember 2011 memutuskan untuk membentuk Tim DPD pada Sidang Uji Materi Perkara Nomor 71/PUU-IX/2011. Cholid sebagai koordinator merangkap anggota bersama Litha Brent dan Hasbi Anshory sebagai anggota. Tugasnya mendampingi atau mewakili pemberi kuasa (pimpinan DPD) menghadiri persidangan MK, menyampaikan keterangan, dan melakukan tindakan yang diperlukan. Kepada Tim diberikan hak subtitutie.

Diposting 23-12-2011.

Dia dalam berita ini...

Cholid Mahmud

Anggota DPD-RI 2009-2014 DI Yogyakarta