Pemerintah diminta bertindak tegas terhadap praktik ilegal mining yang terjadi di Provinsi Bangka Belitung (Babel). Sebab praktik yang merugikan negara tersebut masih marak terjadi hingga saat ini.
Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pertambangan timah ilegal di Provinsi Babel diduga akibat ulah cukong bermodal tebal yang dibekingi aparat penegak hukum.
Bahkan, menurut Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Alimin Abdullah, kegiatan ilegal mining tersebut telah berlangsung lama dan kasat mata. Sehingga mustahil jika aparat penegak hukum tidak mengetahui hal tersebut. Akibatnya, selain kerugian negara, kerusakan lingkungan pun tak terhindarkan.
"DPR sendiri telah meminta pemerintah untuk menindak tegas ilegal mining, namun kenyataannya praktek yang merugikan negara itu masih terjadi hingga saat ini," ujar Alimin dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (4/2/2012).
Menyikapi kondisi tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Wuryanto berpendapat bahwa harus ada keinginan politik kuat yang melibatkan kapolri, kejaksaan, pengadilan, pemda dan DPR. Bahkan jika perlu juga bisa melibatkan panglima TNI, untuk memberantas ilegal mining tersebut.
"Sebab, pertambangan timah ilegal di Bangka Belitung adalah persoalan klasik yang sudah lama terjadi. Sejauh tidak ada political will, maka sulit memberantasnya," tegas Bambang, yang berasal dari Fraksi PDIP.
Bambang menilai, situasi pertambangan ilegal di Babel saat ini mirip dengan kisah pakem yang digambarkan Bung Karno dahulu, di mana bandit-bandit banyak bermunculan, baik bandit ekonomi maupun bandit politik. "Jika hal itu dibiarkan, maka sangat merugikan negara," ungkap Bambang.
Untuk itu, kata Bambang, pemerintah harus bertindak tegas. Ia menegaskan, DPR sudah memberikan dukungan, tetapi di lapangan seperti tidak ada tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah.
Memberantas pertambangan ilegal di Babel memang sudah sangat mendesak, terutama jika mengaitkannya dengan cadangan timah saat ini yang semakin menipis. Karena faktanya dari 100 persen timah yang diproduksi, hanya lima persen saja yang diserap industri dalam negeri.
Hal ini menunjukkan bahwa industri timah di dalam negeri belum tumbuh, sehingga tidak menutup kemungkinan saat industrinya tumbuh, Indonesia akan bergantung pada pasokan timah dari luar negeri.