DPR menyayangkan sikap pemerintah atas tidak adanya titik temu dalam pembahasan revisi Peradilan Militer (PM) sehingga mengalami jalan buntu (deadlock). Padahal, harusnya revisi ini menjadi salah satu prioritas.
"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mencanangkan program 100 hari pemerintahannya. Pembahasan RUU Peradilan Militer ini, menjadi salah satu prioritas dalam program tersebut. Akan tetapi, sampai saat ini tidak pernah diajukan oleh Pemerintah," kata anggota Komisi I DPR Tjahjo Kumolo di Semarang, kemarin.
Disampaikannya bahwa DPR periode 2004-2009 pernah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer bersama pemerintah. Namun, pembahasannya mengalami deadlock. "Sejak 2004 hingga sekarang dalam keadaan tanpa adanya pemecahan," kata Tjahjo.
Diungkapkannya bahwa terjadi perbedaan pendapat antara DPR dan pemerintah, khususnya terkait draf Pasal 9 yang mengatur yurisdiksi peradilan militer.Pada pembahasan revisi UU PM itu, lanjut Tjahjo, DPR menginginkan agar prajurit TNI yang melakukan pelanggaran pidana umum diadili di peradilan umum tanpa melihat oknumnya.
Kendati demikian, tetap berdasarkan pada delik atau bentuk pelanggarannya sesuai dengan ketentuan Pasal 65 UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Adapun ketentuan yang ada di dalam Pasal 65 Ayat (2) menyebutkan prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
Kemudian, pada Pasal 65 Ayat (3) menyatakan apabila kekuasaan peradilan umum tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.
"Pada pembahasan revisi terhadap UU No. 31/1997, Pemerintah menginginkan semua prajurit diadili di peradilan militer tanpa melihat bentuk deliknya," kata Tjahjo.