Pemerintah diminta serius merealisasikan pembentukan lembaga penyangga stok (buffer stock) untuk menjaga stabilitas harga komoditas pangan.
Lembaga itu diperlukan karena selama ini praktik kartel dilakukan oleh sejumlah oknum pengusaha/importir terhadap komoditas pangan seperti gula, beras, daging, kedelai, jagung. Pembentukan sistem buffer stock itu juga merupakan rekomendasi yang dikeluarkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
"Kami merekomendasikan penerapan sistem buffer stock, khususnya untuk komoditas penting seperti beras dan kedelai. Lembaga ini didirikan untuk mengantisipasi sekaligus meminimalisasi dampak gejolak harga komoditas pangan, seperti halnya yang terjadi pada kedelai serta sebelumnya daging dan lainnya," kata Ketua KPPU Tadjuddin Noer Said, di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, mekanisme buffer stock bertujuan untuk menjaga kebutuhan pangan rakyat sesuai dengan kondisi daya beli. Apalagi pemerintah secara teknis memiliki kemampuan untuk memproyeksikan terjadinya penurunan pasokan--seperti dalam kasus kedelai--di pasar dunia.
"Lembaga yang bisa menjadi buffer stock di Indonesia pastinya badan usaha milik negara (BUMN), lembaga atau badan pemerintah. Kalau menggunakan bahasa undang-undang, diharapkan pemerintah tidak memilih perusahaan atau lembaga di luar BUMN dan lembaga pemerintah lainnya," tutur Tadjuddin.
Selain lembaga buffer stock, KPPU juga merekomendasikan peningkatan produksi pangan dalam negeri untuk mengurangi tingginya ketergantungan terhadap impor. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan terintegrasi untuk meningkatkan produksi pangan nasional, termasuk kedelai.
"Keberhasilan pencanangan program intensifikasi khusus kedelai pada 1982 perlu dipertimbangkan untuk kembali dijalankan," ujarnya.
Kebijakan pemerintah strategis untuk meminimalisasi dampak dari perilaku pasar yang bersifat oligopolistik atau pasar yang dikuasai beberapa pelaku usaha saja.
Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo mendesak pemerintah untuk mengatasi usaha kartel tersebut agar tidak merusak sistem perdagangan komoditas pangan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi peran kepada Bulog dalam mengatur masalah pasokan, termasuk importasi jika diperlukan.
"Pemerintah harus mampu mengendalikan praktik kartel ini. Sulit dibantah jika lonjakan harga kedelai belakangan ini karena adanya permainan para kartel. Apalagi fenomena kartel impor kedelai di dalam negeri sudah berjalan cukup lama. Sejak dulu sudah ada permainan kartel, termasuk pada komoditas kedelai," ujarnya.
Para pemain besar (kartel), menurut dia, sudah mengendalikan harga, pasokan maupun permintaan pangan, termasuk kedelai, sehingga tidak heran jika harganya bisa melambung tinggi tanpa bisa diantisipasi. "Apalagi kita sangat bergantung pada satu negara, yaitu Amerika Serikat, untuk impor kedelai," tutur dia.
Untuk itu, Firman berharap fungsi stabilisator harga komoditas pangan tidak dijalankan sendiri oleh Perum Bulog. Jika perlu, dilakukan bersamaan dengan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian yang berada di bawah satu atap.
"Kami juga berharap ada sebuah lembaga yang kuat untuk mengatur masalah pangan. Kita sudah mempunyai Badan Ketahanan Pangan dan kita juga mempunyai Bulog. Dua lembaga ini yang akan kita satukan, sehingga akan menjadi sebuah lembaga independen yang bisa mengatur distribusi dan menjaga stabilitas harga komoditas pangan," ujar Firman.
Untuk mewujudkannya, menurut dia, DPR berinisiatif untuk merevisi Undang-Undang tentang Pangan dan diharapkan pemerintah bisa proaktif serta turut mendukung agar rancangan UU Pangan yang baru bisa segera diterbitkan.
Di tempat terpisah, dosen/ekonom Universitas Indonesia (UI) Nia Elvina mengatakan, krisis yang sebenarnya terjadi di Indonesia, bukan semata-mata krisis pasokan pangan maupun kedelai. Dalam hal ini lebih pada krisis pemimpin atau para pengelola negara yang sungguh-sungguh atau mempunyai komitmen tinggi untuk memajukan bangsa ini.
Menurut dia, argumen yang dikemukakan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan kedelai dengan membebaskan bea masuk impor, itu jelas menghilangkan devisa untuk negara. Yang paling ironis lagi, argumen yang dikemukakan pemerintah karena di AS sedang terjadi musim kering.
"Sungguh argumentasi yang sangat sulit diterima. Sebab, kondisi cuaca yang terjadi di AS sudah bisa diprediksi. Namun, memang Pemerintah Indonesia tidak membuat langkah antisipasi dan merealisasikan program jangka panjang untuk membangun sektor pertanian, termasuk kedelai," ujarnya.
Oleh karena itu, Nia Elvina memprediksi krisis kedelai yang kini terjadi di Indonesia merupakan suatu kebijakan yang didasarkan untuk melegalkan kepentingan-kepentingan kapitalis besar.
"Secara sistem mereka berhasil 'mengalahkan' proteksi negara dengan pengenaan bea masuk," ujarnya.
Selanjutnya setelah sistem distribusi dan perdagangan dikuasai, para kapitalis besar akan menggarap sektor hulu pertanian. Salah satunya dengan mengenalkan bibit varietas baru yang katanya lebih berkualitas dan tahan kekeringan.
"Jadi, jika pemerintah kita tidak sensitif melihat hal ini, maka nanti petani kita, khususnya kedelai, akan makin tergantung pada produk luar, khususnya bibitnya," ujarnya.
Lebih jauh dia mengatakan, sebenarnya petani Indonesia dikenal sebagai petani pemulia tanaman atau petani bisa membuat bibit sendiri. Dalam hal ini pemerintah harus memahami kondisi petani sebenarnya, sehingga bisa memberikan bantuan atau subsidi untuk keperluan pertanian secara tepat.
Di sisi lain, dia menilai peran Bulog dalam hal ini harus ditinjau kembali. Sebab, proteksi negara terhadap kebutuhan rakyat itu harus tetap dipertahankan. Apalagi secara umum tingkat daya beli masyarakat masih rentan.
"Pemerintah harus menerbitkan kebijakan atas kepentingan rakyat Indonesia. Bukan malah kepentingan kapitalis besar yang sekaligus spekulan itu. Jadi, jangan biarkan seluruhnya ditentukan oleh pasar," katanya.