Banyaknya kasus pencaplokan lahan tambang yang dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di beberapa daerah mengakibatkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah.
“Karena BUMN tidak berani ambil jalan pintas, juga karena tidak punya lawyer yang bagus. Tapi kalau punya uang buat bayar lawyer bagus nanti dicurigai,” kata anggota DPR Chandra Tirta Wijaya saat diskusi Pencaplokan Tambang Negara: Pelanggaran Hukum dan Penggelapan Pajak di Gedung DPR, kemarin.
Dia berharap ada perbaikan dari pemerintah, terutama manajemen BUMN yang tampaknya sudah paham tentang prospek keberhasilan gugatannya yang selalu gagal.
Menurut Chandra, jika tidak diperbaiki maka negara akhirnya akan banyak kehilangan lahan tambang. Apalagi, umumnya publik tidak memperolah informasi secara lengkap tentang penyelewengan itu.
Di tempat yang sama, Direktur Indonesia Resourses Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan, akibat pencaplokan lahan tambang milik BUMN oleh swasta negara berpotensi kehilangan penerimaan negara baik pajak maupun dividen.
Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya pencatatan dan pengawasan atas dugaan penggelapan pajak. “Ditjen Pajak harus mengusut penggelapan pajak tambang ini,” pintanya.
Menanggapi berbagai desakan ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengaku belum maksimal menarik pajak sektor pertambangan karena masih kesulitan mendata wajib pajaknya.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Minyak dan Gas Bumi (KPP Migas) Dewa Made Budiarta mengatakan, potensi penerimaan pajak dari sektor pertambangan sangat banyak. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dari sektor tambang Rp 88 triliun atau 10 persen dari target penerimaan pajak pemerintah.
Namun, untuk meningkatkan penerimaan pajak sektor tambang ini tidak mudah. KPP tambang harus mempunyai pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan KPP lainnya. Sebab, sektor tambang ini mempunyai beberapa ketentuan khusus perpajakan.
“Kalau pajaknya mempunyai ketentuan khusus, memahaminya juga harus ada ketentuan khusus,” ujar Dewa.
Menurut dia, saat ini perusahaan tambang ada yang terdaftar di KPP pratama di daerah. Sementara mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk memperdalam bunyi kontrak pertambangan. Apalagi, karyawan pajak di KPP Pratama hanya menguasai pajak penghasilan yang berkaitan bagi hasil dengan pemda.
Padahal, kata Dewa, untuk pertambangan mineral saja sudah tujuh generasi kontrak, sedangkan pertambangan batubara sudah ada tiga generasi kontrak. Tentu, ketentuan pajak di masing-masing kontrak tersebut berbeda-beda.
Untuk meningkatkan penerimaan pajak sektor pertambangan, Ditjen Pajak membentuk KPP khusus Pertambang Umum Mineral dan Batubara dan KPP khusus Migas. Tapi yang menjadi kendala, KKP tambang tugasnya hanya mengawasi kontrak-kontrak tambang yang besar saja, sedangkan untuk kuasa pertambangan (KP) di awasi KPP pratama daerah.
Dia juga mengungkapkan, saat ini banyak kuasa pertambangan yang terdaftarnya di Jakarta. Kondisi itu membuat KPP setempat tidak bisa mengawasi dan memeriksa kapal-kapal yang mengangkut bahan baku tambang itu.
“Ke depannya, kuasa pertambangan yang izinnya terdaftar di Jakarta akan dipindahkan ke KPP daerah agar pengawasannya bisa lebih maksimal,” tandasnya.
Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mempertanyakan pengawasan Ditjen Pajak terhadap penerimaan pajak dari sektor pertambangan. Sebab, saat ini tidak ada yang tahu berapa banyak bahan baku tambang yang dikirim melalui kapal setiap harinya. “Siapa yang mengawasi itu,” ujarnya.
Selain itu, menurut dia, tumpang tindih lahan pertambangan yang terjadi saat ini di daerahnya juga berdampak pada penerimaan daerah dan negara. “Kini banyak muncul pertambangan baru yang dikeluarkan oleh bupati dan ironisnya itu berada di wilayah pertambangan milik BUMN,” tegas Nur Alam.
Kondisi itu tentu berdampak pada penerimaan daerah dari kegiatan pertambangan yang seharusnya dilakukan oleh BUMN tersebut.
Sebelumnya, Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengatakan, penerimaan pajak penghasilan (PPH) mengalami pelambatan. Namun, Fuad tidak mau memberi tahu berapa penurunan penerimaannya.
Kata dia, penurunannya tidak terlalu banyak, tapi lumayan. Saat ini ada beberapa perusahaan pertambangan yang bermasalah dengan masyarakat lokal dan itu mengganggu aktivitas produksi.
“Ada yang produksi memang terganggu di beberapa tempat di Indonesia, karena masalah sosial. Anda tahu lah siapa itu, sehingga produksi turun ya pajaknya turun, turun banget,” ujarnya.